
Cerita ini hanyalah fiktif belaka.
Kesamaan nama, tokoh, dan tempat hanya kebetulan semata. Semua isi dalam cerita
ini adalah hasil dari buah imajinasi saya sendiri, ditambah hal real yang saya lihat, dengar, datangi,
dan rasakan sebagai pegangan untuk menyempurnakan cerita ini. Jangan terlalu
dianggap serius, tapi kalau serius juga tidak apa-apa. Maaf, jika sekiranya cerita
ini kurang sempurna, terkesan berlebihan, ataupun menyinggung beberapa pihak.
Saya hanya sekadar berbagi cerita yang saya buat, dan mungkin saja buah pikiran
saya bisa bermanfaat bagi para pembaca yang membaca cerita ini.
****
Salah seorang teman datang berkunjung ke
tempat tinggalku. Datang jauh dari kota Bandung hanya untuk meminta bantuanku
menulis satu kisah. Padahal dia adalah seorang penulis, seharusnya tanpa
meminta bantuanku pun dia bisa membuat kisah sesuai imajinasinya sendiri. Saat
kutanyakan apa alasannya meminta bantuan dariku, ternyata dia ingin membuat
satu kisah untuk idolanya yang akan berulang tahun di bulan Desember nanti, di
hari Natal lebih tepatnya. Jika memang untuk idolanya, kenapa harus meminta
bantuan dariku?
Dia
menjelaskan bahwa dia tidak percaya diri dengan tulisannya sendiri, terlebih
lagi tulisannya nanti akan berhubungan dengan ulang tahun si idola. Mungkin dia
tidak ingin tulisannya terlihat mengecewakan,
begitu pikir saya.
Saya
sempat menolak, lantaran saya tidak begitu lihai dalam dunia tulis-menulis, terlebih
lagi menulis fiksi. Saya lebih memilih melukis, atau pun memahat kayu di dalam
gubuk kesayanganku. Menulis bukanlah duniaku. Tapi, saya melihat dia
bersungguh-sungguh. Sudah datang jauh-jauh ke desa terpencil ini hanya untuk
bertemu dan meminta bantuan dariku. Sebagai teman yang baik, untuk saat ini
saya akan membantunya. Demi membuatnya senang. Tidak lucu juga ‘kan kalau dia
kembali ke kotanya dengan muka masam dan memberi kesan buruk padaku.
Saya
mulai mencoba menulis satu kisah, tentu saja sesuai arahan temanku ini selaku Yang-Punya-Kuasa kisah ini. Saya hanya membantu
menuliskannya meski gaya penulisanku berbeda dengannya. Dia meminta saya
menuliskan kisah ini menurut sudut pandang saya. Dia juga memberitahu bagaimana
watak si idola yang akan dijadikan lakon di kisah ini. Selain arahan-arahan
darinya, dia sedikit memberi kebebasan padaku, dan hasilnya nanti kalian akan
lihat sendiri.
Ya
sudah, saya tidak mau banyak berbasa-basi lagi. Selagi temanku sekarang sedang
membantu memahat kayu, kalian nikmati saja kisah yang saya buat ini—tentunya tak
lepas dari arahan si Yang-Punya-Kuasa kisah ini.
Salam kenal,
L M D
[POHON NATAL
UNTUK DESY]
Aku
berjalan menyusuri hutan lebat. Kedua tanganku memanggul sebatang pohon yang
baru saja aku tebang di siang hari. Aku tidak sendiri memanggulnya, ada dua
orang temanku ikut membantu. Berjalan beriringan sambil menghindari bebatuan
tajam dan semak berduri yang bisa saja melukai kami. Suatu pembelajaran, bahwa saat
menjelajahi hutan lebat harus memakai pakaian yang memadai. Aku dan dua temanku
hanya mengenakan kaus dan celana pendek, serta sandal jepit sebagai alas kaki.
Tak ayal kami harus ekstra hati-hati.
Langkah kami terhenti di area cukup
luas. Tidak ada dedaunan yang berfungsi sebagai kanopi hutan ini, hanya padang
rumput ilalang layaknya savana Afrika. Batang pohon di pundak kami hati-hati
diturunkan ke atas hamparan rumput. Aku tidak mau kalau batang pohon ini rusak,
karena batang pohon ini akan aku sulap menjadi sesuatu yang spesial untuk
seseorang.
Peluh keringat mengalir deras,
merembes hingga membasahi kaus yang kukenakan. Kulihat kedua temanku duduk di
atas hamparan rumput ilalang. Napas mereka tersengal sangking lelahnya setelah
memanggul batang pohon. Aku ikut duduk di depan mereka, mengatur napas sambil
menyeka keringat yang membasahi wajah. Meski begitu aku tetap senang melihat
dua temanku ini mau membantu.
“Kamu hebat bisa memilih pohon mana
yang paling bagus untuk dipahat, Mahesa.” Lukas Antara Bagja, pemuda berpakaian
kaus hitam dengan corak gambar harimau mulai memuji keahlianku. Dia satu tahun
lebih tua dariku. Aku memang dikenal mereka sebagai ahlinya pepohonan—bahkan
sampai penduduk desaku saja tahu.
“Jangan terlalu memujiku seperti
itu, Tara.” Aku menghela napas pendek. Kuseka keringat yang mengalir menuruni
leher. “Aku hanya belajar dari apa yang aku lihat dari ayahku. Dia jauh lebih
hebat dibanding denganku.”
Tara tertawa pendek. Sebelah
tangannya mengusap kasar rambutnya yang pendek, membuat cairan keringat
terhempas ke udara. Dia mempunyai nama paling bagus, tetapi lebih suka
dipanggil Tara. Biar lebih enak didengar,
begitu katanya. “Tapi, meski begitu kamu sudah hebat, Mahesa. Bisa saja suatu
saat nanti kamu akan menjadi pemahat terkenal dan mempunyai bisnis sampai
mancanegara.”
“Terima kasih pujiannya.”
“Benar yang dikatakan Tara, Mahesa.”
Oktavius Anggara Sudrajat, lelaki berambut gondrong yang mengenakan kaus
berwarna merah ikut dalam perbincangan. Dia satu tahun lebih muda dariku. Poni
rambut gondrongnya menutupi sebagian wajahnya, lantas dia mengesampingkan
poninya. “Kalau kamu jadi pemahat terkenal dan sukses, gadis yang kamu sukai
bisa jatuh hati padamu.”
Tawaku sedikit tergelak. “Aku tidak
mungkin bisa mendapatkan hatinya, Gara.” Kuhela napas pendek, lantas berbaring
di hamparan rumput ilalang ini dengan batang pohon yang sudah kami bawa sebagai
bantalan. “Dia orang kota, datang jauh-jauh ke desa kita dan tinggal di sini.
Anak kampung sepertiku tidak pantas berhubungan dengannya. Aku takut dia merasa
tidak nyaman terus dekat-dekat denganku. Apalah aku ini...”
Bisa kudengar helaan napas Gara di
balik poni rambut yang menutupi wajahnya. Lantas ikut berbaring di sebelah
kiriku, diikuti Tara di sebelah kananku. Pandanganku terkunci pada
gumpalan-gumpalan awan yang menghiasi langit jingga. Pikiranku melanglang
buana, saling berlarian layaknya anak anjing yang sedang kegirangan. Sejemput
kemudian, fokusku berhenti di satu titik dimana menampakkan wajah seorang
gadis. Ucapan Gara memang benar, aku tidak berdusta, aku memang menyukai gadis
itu. Tapi kalau melihat situasinya sekarang, langit sore ini pun nampaknya
sepaham dengan jalan pikiranku. Aku tidak mungkin bisa mendapatkannya.
“Hei, Mahesa.” Suara sedikit nge-bass milik Tara menyadarkanku dari
lamunan. Dia menoleh ke arahku sambil menunjuk batang pohon yang jadi sandaran
kepala kami. “Pohon yang sudah kita tebang ini mau kamu buat apa, bukankah kamu
mau membuatnya untuk gadis itu?”
“Entahlah,” jawabku sekenanya. “Aku
masih belum tahu akan kujadikan apa pohon ini. Tidak seperti biasanya aku
kebingungan begini.”
“Itu karena kamu sedang jatuh hati
pada gadis itu,” sanggahnya. Detik berikutnya nada bicaranya sedikit naik.
“Hah... kamu ini. Cepat atau lambat kau harus menentukan pilihanmu. Sama
seperti perasaanmu, cepat atau lambat kau harus mengungkapkannya pada gadis
itu.”
Aku terdiam. Ucapan Tara memang
benar, tapi sudut hatiku berkata lain. Ada sedikit keraguan akan hal itu. Aku
memang menyukai gadis itu, tapi untuk mengenalnya lebih jauh pun aku tak bisa.
Selama ini hanya saling sapa, mengobrol—itu pun tidak lebih dari lima menit—, alih-alih
berbicara seperlunya dan berlalu pergi begitu saja. Sungguh, pria macam apa aku
ini?!
Jentikan jari Gara di depan wajahku
membuatku kaget. Refleks aku menoleh ke arahnya. “Bagaimana kalau pohon ini
kamu jadikan sebuah patung.”
Usulnya membuatku sedikit berpikir.
“Patung yang seperti apa dulu?” tanyaku.
“Kudengar, ayahnya yang pemilik
perkebunan teh di desa kita suka sekali mengoleksi berbagai patung pahat dari
batang pohon.” Kulihat ukiran senyum Gara mengembang lebar di balik poni rambut
gondrongnya. Ia melanjutkan usulannya, “Nah, kamu coba saja membuat patung yang
menyerupai putrinya itu. Aku yakin gadis itu pasti akan terkesima melihatnya.
Kamu kan hebat dalam memahat.”
“Memahat kayu dia jagonya, tapi
memahat hati gadis itu jelas tidak, Gara,” celetuk Tara diiringi gelak tawa,
membuat suaranya terdengar menggema ke seantero padang rumput ilalang ini. Aku
menanggapinya dengan tawa pelan.
Mendengar celetukan Tara tadi,
membuatku seakan-akan aku ini memang pria bodoh yang tak punya keberanian untuk
mendekati wanita. Bodohnya aku yang termakan dengan bualan bahwa anak kampung
tidak pantas bergaul dengan anak kota. Terlihat menyedihkan, tapi seperti itulah
yang aku rasakan sekarang. Menyerah duluan sebelum perang dimulai. Tapi setelah
mendengar usulan Gara tadi, membuatku berpikir.
“Tapi, aku tidak yakin apa dia akan
menyukainya atau tidak,” kataku, menghela napas panjang, merasa putus asa.
“Lagipula aku belum terlalu mengenalnya lebih jauh lagi. Bagaimana kalau
seandainya dia tidak menyukainya? Ah, bisa-bisa dia merasa tidak nyaman
denganku.”
Kurasakan satu tepukan pelan dari
Tara mendarat di pucuk kepalaku. Aku mengaduh sakit seraya mengusap pucuk
kepalaku. “Hei, Mahesa. Jangan menyerah duluan sebelum berperang,” katanya.
“Kalau kamu bersikap seperti ini terus, kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis
itu—bahkan mendekatinya saja akan sulit. Buang jauh-jauh pikiranmu itu, lalu
lakukan apa yang harus kamu lakukan.”
“Yang diucapkan Tara benar, Mahesa.”
Gara menambahkan. Senyum lebar di bibirnya masih terukir jelas. “Kalau kamu
kesulitan, kita akan membantu. Kita ini kan teman dari kecil. Betul tidak,
Tara?” Kepalanya menoleh ke arah Tara yang dijawabnya dengan anggukan.
Aku menengadah memandang langit
jingga yang perlahan meredup dilingkupi kegelapan. Kucerna baik-baik nasehat
dari kedua temanku ini masuk ke dalam pikiranku, membuka pola pikir baru.
Hembusan angin menerpa, membawa semua pola pikir yang sebelumnya membuatku
ragu. Mereka benar, aku tidak boleh menyerah sebelum perang. Aku harus
melakukan sesuatu. Lantas, aku bangkit dari baringku, duduk, dan berdiri
memandang langit.
“Aku sudah tahu apa yang harus aku
lakukan,” kataku sedikit tegas. Kulihat Tara dan Gara ikut berdiri dan
tersenyum sumringah. “Kita bawa pulang pohon kita. Hari sudah mulai gelap.”
Batang pohon yang sudah kami tebang
pada siang hari lantas kami panggul kembali. Mulai melangkah meninggalkan
hamparan padang ilalang, berjalan menuju desa dengan semangat. Ya, setelah ini
mungkin akan menjadi hari baik di esok hari.
[POHON NATAL
UNTUK DESY]
Langit
pagi yang cerah dengan udara sejuk khas pegunungan mulai membangunkanku dari
alam mimpi semalam. Rasanya bahuku terasa sedikit pegal setelah kemarin
memanggul batang pohon lumayan besar yang akan kujadikan sesuatu di hari yang
sejuk ini. Kulangkahkan kaki keluar kamar dan berjalan menuju kamar mandi yang
berada di belakang rumah hanya untuk sekadar mencuci muka. Butuh sedikit tenaga
untuk sekadar membasuh muka, karena aku harus menimba air terlebih dahulu dari
dalam sumur. Dengan ember yang sudah terisi air, aku pun membasuh wajahku,
mengembalikan nyawa yang sempat menghilang saat tidur semalam. Air yang jernih
dan dingin menjadi suntikan semangat buatku untuk memulai hari.
Rasanya aku belum memperkenalkan
diriku kepada kalian. Baiklah, karena aku sedang semangat pagi ini, dengan
senang hati aku memperkenalkan diri. Namaku Laban Mahesa Durga, kalian bebas
memanggilku apa saja; Laban, Mahesa, Durga, terserah kalian. Aku tinggal di
sebuah desa kecil yang letaknya berada di perbatasan kota Cianjur dan Bogor.
Banyak hutan yang masih asri di sini karena letak desa kami yang dilingkupi
oleh pegunungan. Tak heran desa kami terasa sangat sejuk dan nyaman untuk
ditinggali. Jika kalian main ke desaku, aku akan menunjukkan banyak tempat
mengasyikan di sini. Aku menjamin kalian akan betah tinggal berlama-lama di
sini.
Mata pencaharian di desaku ini
rata-rata sebagai petani, peternak, dan seniman. Mereka banyak mengolah hasil
alam yang ada di sini, lalu menjualnya ke kota. Itu menguntungkan bagi
kelangsungan desa kami. Terlebih lagi, dengan dibukanya kebun teh milik dari
seorang pengusaha sukses dari kota Jakarta—sekarang tinggal di desa
kami—menambah pundi-pundi rupiah bagi warga desa. Tidak hanya itu, di desa kami
juga terdapat berbagai tempat ibadah, seperti gereja, masjid, dan pure yang
memudahkan kami untuk beribadah. Karena sebelumnya kami warga desa harus
berjalan sejauh sepuluh kilometer hanya untuk beribadah. Orang-orang di desaku
sangat toleran dalam beragama, tidak pernah mendiskriminasi satu sama lain.
Hm, apa lagi ya yang harus
kuceritakan pada kalian tentang desaku ini? Ah, aku melupakan satu hal. Desa
tempat tinggalku dan segala yang ada di sekitarnya jarang terekspos dunia luar.
Makanya kehidupan di desa ini masih terlihat asri. Banyak vegetasi tanaman yang
melimpah. Belum lagi satwa-satwanya masih banyak. Bahkan, di saat malam, warga
desa harus menyalakan lampu cempor karena belum tersedianya listrik. Meski
begitu, kami merasa sangat nyaman.
Ah, rasanya cukup sudah
perkenalannya. Kalian akan lebih mengenal diriku seiring membaca kisah ini. Si Yang-Punya-Kuasa kisah ini tidak mengizinkanku
memperkenalkan diri lebih jauh lagi. Aku harus bergegas keluar kamar mandi
karena ibuku sudah memanggil untuk sarapan. Kuingat ibu memasak makanan
kesukaanku.
Ibu terlihat sedang menyiapkan
banyak makanan di atas meja. Terlihat juga di sana Melati, adik bungsuku tampak
sudah duluan melahap sarapannya. Aku duduk di kursi sebelah adikku. Mengambil
piring dan menyendok nasi dari dalam bakul.
“Melati, kalau makan pelan-pelan,
nanti tersedak,” kataku pada adikku yang sedang melahap makanannya dengan cepat,
seperti orang yang kelaparan.
Melati menelan kunyahan makanannya.
Diraihnya gelas berisi air putih dan menenggaknya hingga tandas. “Kalau aku
nggak cepat makannya, nanti Kakak habisin makanan aku.”
“Siapa bilang?” Aku tidak sependapat
dengannya. Terus terang saja, malah adikku ini yang seenaknya menghabiskan
jatah makananku. “Harusnya Kakak yang bilang itu ke kamu.”
“Hehehe.” Dia cengengesan, tak
menyadari kesalahannya. Begitulah sifat adikku.
Di atas meja makan ini sungguh
menggugah selera makanku. Ayam goreng, tahu dan tempe goreng, serta berbagai
macam sayuran, membuatku ingin segera menghabiskannya. Tapi, orang tuaku selalu
mengajarkan anak-anaknya untuk tidak rakus terhadap makanan. Harus ingat orang yang belum makan, begitulah
kata mereka. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada Melati, adikku.
“Mahesa, tolong bawakan bekal makan
siang ini ke ayahmu di kebun teh setelah sarapan, ya,” titah Ibu seraya menaruh
rantang berisi bekal makan siang di atas meja makan.
“Memangnya Ayah tidak memahat hari
ini, Bu?” tanyaku.
“Tuan Airlangga memintanya untuk
menemani mengawasi kebun teh.”
Tuan Airlangga. Beliau lah pemilik
kebun teh yang menambah lapangan pekerjaan di desa kami. Bisa dibilang, beliau
ikut andil dalam perkembangan desa. Dan, beliau memiliki seorang putri cantik
yang saat ini sedang kusukai.
“Kalau kamu antarkan ke sana,
mungkin saja kamu bertemu dengan putrinya yang cantik itu,” lanjut Ibu seraya
menyunggingkan senyum semanis madu.
Baru saja hendak menenggak gelas
minumanku, lantas mengurungkannya. Sebelah alisku terangkat, memandang ibuku
dengan tatapan penuh tanya. Alih-alih menjawab, ibu malah tersenyum makin
lebar, memperlihatkan deretan giginya berjajar rapi. Detik berikutnya ibu malah
tertawa seakan-akan mengejekku.
“Kenapa Ibu tertawa? Kan tidak ada
yang lucu.” Melati di sebelahku menyeletuk, melihat tingkah pola ibu. Tawa ibu
terhenti, dipandangnya adikku ini dengan mimik muka ceria.
“Kau tahu tidak, Nak, Kakakmu ini
sedang jatuh hati dengan putrinya Tuan Airlangga.”
“Ibu...” Aku merengek. Ucapan Ibu
barusan membuatku malu setengah mati. Lantaran aku tidak pernah memberitahukan
perihal ini kepada orang tuaku, lantas mengapa Ibu bisa tahu bahwa putra
sulungnya ini sedang jatuh hati kepada anak dari pengusaha sukses?
“Sudahlah, Nak. Ibu tahu apa yang
kamu rasakan. Setiap pagi kamu selalu datang ke kebun teh hanya untuk melihat
gadis itu,” ucapnya. Sial, yang dikatakan Ibu barusan benar adanya. “Kalau kamu
suka dengannya, cobalah dekati dia lebih dalam lagi. Jangan menyesal di
kemudian hari.”
Aku mendesah pendek seraya
kuketuk-ketuk badan gelas berisi air setelah mendengar perkataan ibu. Ucapannya
tidak beda jauh dengan yang dikatakan Tara dan Gara kemarin. Lantas aku
menjawab, “Iya, Ibuku yang cantik jelita seperti Srikandi.
Ibu membalasnya dengan senyuman
semanis madu. Sementara aku melanjutkan sarapanku dengan khitmad. Tak butuh
waktu lama bagiku menghabiskan sarapan pagi ini. Kuambil rantang bekal makan
siang untuk Ayah, kemudian melenggang pergi meninggalkan rumah.
“Aku berangkat, Bu.”
****
Kebun
teh milik Tuan Airlangga terlihat dipadati oleh para pekerja. Mereka memetik
pucuk daun teh pilihan yang nantinya akan dikirim ke kota. Setelah bertemu
dengan ayah dan memberikan bekal makan siang buatan ibu kepadanya, aku menjelajah
area kebun teh ini dengan berjalan kaki. Di sini terasa sangat sejuk dengan
lapisan kabut tipis menghiasi udara. Jika kalian berkunjung ke sini, kusarankan
jelajahi bersama salah seorang warga desa agar tidak tersesat karena kebun teh
milik Tuan Airlangga terbilang sangat luas wilayahnya.
Sepanjang kujelajahi kebun teh, aku
tidak menemukan keberadaan gadis yang kusukai. Biasanya di pagi begini dia
keluar dari rumahnya yang berada dekat hamparan kebun teh hanya sekadar berjalan-jalan.
Tumben sekali tidak terlihat batang hidungnya.
Langkah kaki terus membawaku
menapaki jalan setapak pada kebun teh ini, sambil sesekali iseng memetik daun
teh. Udara sejuk pagi ini membuatku nyaman berada di sini. Mataku menutup
sejenak sekadar menghirup udara sejuk yang bercampur dengan aroma tanah.
Pikiranku seketika melanglang buana, seakan-akan menarikku semakin jauh dari
batas kesadaran. Hingga sampai di satu titik. Wajah cantik gadis itu hinggap
lagi di pikiranku. Aku membuka mata. Ada seperti bisikan masuk ke indra pendengaran,
memintaku untuk segera melangkah cepat.
Ah,
aku lupa, hari ini aku akan membuat sesuatu untuk gadis itu!
Maka, dengan sedikit berlari, aku
bergegas ke tempat pemahatan kayu—dimana aku, Tara, dan Gara menaruh batang
pohon kami di sana—yang berada tidak jauh dari area perkebunan teh. Sebenarnya
aku masih belum yakin akan membuat karya sesuai usulan Gara kemarin. Meski
usulannya menarik untuk dilakukan, tapi aku masih tidak yakin. Aku harus
mencari alternatif lain. Tapi apa?
Seperti biasanya, tempat pemahatan
kayu terlihat agak sepi di pagi hari. Gubuk lumayan luas dengan banyaknya
batang pohon tertata rapi di depannya, dan juga hasil pahatan kayu yang sudah
siap dijual. Pemilik dan para pemahat di sini melakukan aktivitasnya saat
menjelang siang. Tapi kurasa pemilik tempat ini sudah memulai aktivitas
memahatnya. Itu terlihat saat dia sedang membuat ukiran pada satu buah patung
yang telah dibuatnya.
“Selamat pagi, Paman,” sapaku ramah
kepada Paman Arius. Dia menghentikan sejenak pekerjaannya hanya untuk membalas
sapaanku. Dia tersenyum ramah.
“Eh, kau rupanya, Mahesa. Tumben
sekali kau datang kemari pagi begini?”
“Harusnya aku yang bertanya, kenapa
Paman memulai pekerjaan sepagi ini, biasanya kan menjelang siang?”
Arius Sukma Sanjaya. Pria berumur
tigapuluh tahun merupakan pemilik usaha kerajinan pahatan kayu. Beliau salah
satu pemahat terkenal di desaku setelah ayah. Tak jarang mereka bekerja sama
membuat pahatan paling bagus dan dijual ke kota. Aku juga belajar cara memahat
darinya, tentunya dengan bantuan juga dari ayah.
Paman Arius sedikit tertawa.
“Kebetulan temannya Tuan Airlangga di kota sana tertarik untuk membeli
pahatanku ini. Lumayan kan, rezeki besar.” Paman Arius menghampiriku dan
mengajakku masuk ke dalam. “Kemarin kau dan dua temanmu menitipkan batang pohon
kemari, kan? Nah, mau kau buat apa batang pohon itu?”
“Aku masih belum tahu, Paman,”
kataku tersenyum.
Paman Arius duduk di kursi kerjanya,
kembali memahat sambil tatapannya tertuju padaku. “Tara bilang kau suka pada
gadis cantik itu dan ingin memberi sesuatu padanya.” Aku hanya menanggapinya
dengan cengengesan. “Tadi gadis cantik itu kemari, Mahesa.”
Mataku membeliak. Aku terdiam
seketika setelah mendengar perkataan Paman Arius. “Benarkah itu, Paman?”
Paman Arius menganggukkan kepala.
“Dia tadi datang melihat-lihat saja sambil mengobrol denganku. Dia bahkan kagum
dengan hasil pahatanmu yang pernah kau buat di sini.”
Aku tidak tahu harus bicara apa.
Bibirku terasa kelu mendengar penuturan Paman Arius. Gadis cantik, putri dari
pemilik perkebunan teh ternyata mengagumi hasil pahatanku. Lantas aku kembali
bertanya pada Paman Arius, “Lalu, dia kemana sekarang?”
“Gadis cantik itu ke gereja, latihan
paduan suara. Kau tidak tahu, bulan depan itu hari Natal akan tiba.” Paman
Arius menghela napas pendek. Bodohnya aku sampai lupa bahwa sebentar lagi Natal
tiba, terlebih lagi aku baru tahu dia ternyata ikut paduan suara gereja.
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung
berlari meninggalkan Paman Arius yang berkutat dengan pekerjaannya. Tak
kuhiraukan teriakan Paman Arius yang menanyaiku hendak pergi kemana. Yang
terlintas di pikiranku saat ini hanyalah melihat gadis cantik itu sekali lagi.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di
gereja. Tempatnya berada di dekat balai desa. Di sini kalian akan menemukan
tempat ibadah lainnya selain gereja. Karena area sekitar balai desa ini
terbilang luas dengan pepohonan pinus yang mengelilinginya, maka berdiri pula
satu masjid dan satu pure. Jika saat sore hari, biasanya tempat ini akan
didatangi banyak warga desa.
Aku melangkah tergesa-gesa hendak
memasuki gereja yang tidak telalu besar ini. Saat hendak membuka pintu, kudengar
sayup-sayup nyanyian lagu rohani bertema Natal dari dalam sana. Ada beberapa
suara yang tercipta saat kudengar lagu tersebut. Ya, orang-orang di dalam
gereja tengah melakukan latihan paduan suara. Lantas kubuka pintu lebar dan
masuk ke dalamnya.
Terlihat deretan kursi berjejer rapi
di sini, meski kursinya tidak terlalu banyak. Aku memosisikan diri duduk di
barisan tengah dekat dengan jendela. Sayup-sayup paduan suara terdengar lebih
jelas di dalam sini. Pandanganku menerawang ke seluruh ruangan, kemudian
berhenti tepat di sebelah kanan dekat dengan altar. Beberapa anak muda tengah
melakukan kegiatan paduan suara gereja. Mereka dibimbing oleh seorang dirigen
wanita bernama Bunda Lena. Dia seumuran dengan ibuku.
Gadis yang kusukai ada di antara
mereka. Dia berada di posisi tengah bersama dengan jajaran para gadis yang
berpostur lumayan tinggi. Sedangkan di bagian depan diisi oleh anak-anak kecil desa
dari berbagai usia. Lalu di bagian belakang diisi oleh para pemuda desa, salah
satunya ada Tara temanku. Aku mendengarkan lantunan lagu yang mereka nyanyikan
dengan pandangan terus tertuju pada gadis cantik yang kusukai. Dia terlihat
sangat cantik, hanya mengenakan gaun sebatas lutut berwarna krem dengan motif
bunga mawar putih. Rambutnya yang tergerai hingga bahu ia selipkan ke belakang
telinga, membuat wajahnya yang putih menambah kecantikannya. Dari ekspresinya
ia terlihat ceria saat menyanyikan lagu tersebut.
Jantungku berdebar semakin kencang
seperti genderang perang. Untuk kesekian kalinya dalam hidupku, aku merasakan
perasaan tak karuan seperti ini. Padahal, aku belum terlalu banyak mengenali
gadis itu, itupun hanya sekadar mengobrol biasa—tidak lebih dari lima menit—,
saling sekadar bertegur sapa, dan hanya tahu namanya saja.
Sepertinya aku belum memberitahu
kalian siapa nama gadis itu. Jangan terkejut saat kuberitahukan namanya, karena
dia mempunyai nama yang lumayan panjang. Maria Genoneva Natalia Desy
Purnamasari Gunawan. Putri sulung dari pemilik perkebunan teh di desa kami,
Tuan Airlangga. Orang-orang di desaku, termasuk teman-temanku sering memanggilnya
Desy. Tapi aku malah lebih enak memanggilnya Maria. Bukan tanpa alasan aku
memanggilnya seperti itu, menurutku panggilan nama Maria lebih cocok untuknya
sesuai dengan kecantikannya seperti bidadari turun dari langit.
Masih ingat betul dalam ingatanku
saat pertama kali dia datang ke desaku bersama kedua orang tuanya. Aku sama
sekali belum mengenali siapa dia. Tapi, Gara temanku memintaku untuk menyambut
kedatangan mereka di balai desa. Belum ada perasaan apapun dalam diriku, hanya
tatapan bingung melihat Tuan Airlangga dan istrinya. Namun, saat Maria
tiba-tiba datang menghampiri dan menjulurkan tangannya padaku, semua perasaaan
dalam diriku mendadak berubah. Dia seperti bidadari yang turun dari langit.
Wajahnya sangat cantik, mungkin saja melebihi kecantikan gadis-gadis di desaku.
Meski dia berasal dari kota sana, tapi aku sama sekali tidak melihat dia
berpakaian seperti ala anak kota. Dia terlihat biasa, namun itu malah membuatku
berdebar tak karuan.
Alih-alih membalas jabat tangannya,
aku hanya diam termangu seperti patung kayu yang sering kupahat. Hingga
senggolan tangan Gara disertai dehemannya menyadarkanku dari lamunan. Langsung
saja kubalas jabat tangannya seraya menyebutkan nama sambil tatapan mata terus
melekat pada sepasang mata indahnya.
Lantunan lagu yang dinyanyikan
anggota paduan suara tadi berhenti. Bunda Lena mengintruksi anggotanya
istirahat sejenak dan lanjut ke lagu berikutnya. Tatapanku masih melekat pada
Maria. Kalau dia bernyanyi di paduan suara seperti itu, aku jadi ingin
mendengar dia bernyanyi sendirian. Mungkin saja suaranya jadi terdengar lebih
merdu.
Jantungku rasanya mendadak meloncat
dari rongganya saat pandangan kami bertemu. Maria melihat ke arahku. Dia tersenyum
manis. Dan yang lebih membuatku semakin tak karuan, kedua matanya menutup
seperti bulan sabit saat tersenyum. Ah, sial. Dia terlihat manis sekali. Kucoba
mengalihkan pandanganku darinya, melihat beberapa pemuda sedang membuat pohon Natal
di sisi kiri dekat altar. Seberapa keras mencoba mengalihkan pandangan, tetap
saja pandanganku tertuju lagi pada Maria dengan lirikan-lirikan kecil.
Sial, dia masih memandangku dengan
senyum bulan sabitnya.
****
Aku
duduk dalam diam di bangku panjang depan balai desa. Senyum Maria tadi terus
terbayang-bayang di dalam kepalaku. Senyum yang begitu manis dipandang. Entah
mengapa Tuhan bisa menciptakan wanita paling manis seperti dia. Kalau aku
diberi kesempatan lagi, aku ingin melihat kembali senyum manisnya itu dan mengajaknya
untuk bisa lebih dekat. Kapan lagi aku bisa merasakan seperti ini lagi.
Matahari semakin naik ke langit,
membuat cahayanya turun ke bumi dengan teriknya. Kendati demikian, kegiatan
paduan suara yang baru saja kulihat masih berlangsung di dalam gereja. Aku
memilih untuk keluar, tak ingin mengganggu kegiatan mereka, sekaligus menunggu
Maria beres kegiatannya. Kuperhatikan sekitaran balai desa ini terlihat
beberapa warga tengah melakukan aktifitasnya masing-masing.
“Kalau duduk sendirian seperti ini
pasti ada sesuatu yang sedang kamu rasakan sekarang.” Suara seorang gadis dari
sebelah kiri membuatku sedikit terhentak. Kudapati Ratu Vienny Fitrilya sedang
menatapku sambil menenteng sebuah keranjang. Dia duduk di sebelahku. “Apa yang
sedang kamu rasakan sekarang, Mahesa?”
Kutatap sejenak wajah samping Ratu
yang sedang menyunggingkan senyum kecil. Alih-alih menoleh kembali ke depan,
menatap gereja yang baru saja aku singgahi. “Ah, aku tidak merasakan apa-apa,
Ratu.”
“Jangan bohong. Aku bisa merasakannya
hanya dengan melihat matamu,” hardiknya. Tawa kecilnya sedikit tergelak.
Kemudian kurasakan sentuhan lembut tangannya pada pundakku. “Ceritakan saja
padaku, Mahesa.”
Aku menghela napas panjang. Tidak
ada yang bisa mengelak jika sedang berhadapan dengan Ratu. Dia bagaikan
cenayang yang mengetahui isi hati orang lain hanya dengan melihat tatapan mata
saja.
“Kamu memang pandai membaca isi hati
orang lain, Ratu,” kataku padanya. “Rasanya aku sedang jatuh hati pada Maria.”
“Maria putri Tuan Airlangga itu,
kan?” Dia balik bertanya, yang kujawab dengan anggukan. “Kamu sungguh beruntung
bisa jatuh hati padanya, Mahesa. Gadis itu sangat cantik.”
“Maksudmu?”
Ratu bangkit berdiri dari kursi.
Keranjang di tangannya diangsurkan ke bawah lutut kakinya, sedikit membungkuk
dan menatap padaku. “Kamu sendiri akan tahu, Mahesa.” Dia menegakkan badan
kembali, menoleh ke depan gereja. “Nah, tampaknya kegiatan paduan suara sudah
selesai. Dia sudah keluar dari dalam gereja. Temuilah dia, Mahesa, aku harus
pergi ke ladang.”
Ratu mulai meninggalkanku sendirian
duduk di bangku panjang ini. Dia mengatakan yang sebenarnya. Kulihat anggota
paduan suara sudah selesai melakukan latihannya dan mulai kembali ke rumah
masing-masing. Dari tempatku duduk, Maria sedikit celingukan seperti sedang
mencari sesuatu. Aku sempat mengira kalau dia sedang mencariku. Ah, pasti itu
tidak mungkin.
Maka, aku pun mencoba menghampirinya
hanya sekadar menyapanya saja.
“Selamat siang, Maria,” sapaku ramah
padanya. Dia tiba-tiba menoleh padaku. Senyum bulan sabitnya merekah, membuatku
sedikit terhenyak.
“Selamat siang juga, Mahesa,”
balasnya.
“Hm... latihan paduan suaranya sudah
selesai?” Aku mendadak gugup seperti orang bodoh. Jelas-jelas dia baru saja selesai latihan, kau tanyakan pula.
“Sudah, kok,” jawabnya, “tadi aku
melihatmu menonton latihan kami di dalam. Kenapa kamu tidak ikut saja latihan
bersama?”
“Oh, itu karena aku tidak pandai
beryanyi sepertimu. Suaraku jelek seperti lengkingan burung gagak,” kataku
disertai tawa kecil. Memang pada dasarnya aku tidak bisa menyanyi, aku tidak
punya bakat dalam hal musik.
Maria ikut tertawa. Suaranya
terdengar mempunyai ciri khas tersendiri, merdu dan manis seperti madu.
Sejemput kemudian, tidak ada obrolan lagi di antara kami berdua. Hanya terdengar
obrolan-obrolan warga di balai desa ini yang sedang melakukan aktifitasnya.
Gadis cantik di sebelahku ini melangkah lamat-lamat. Aku mengekori di
sebelahnya. Entah aku sedang sadar atau tidak, ini kali pertama aku berjalan
berdua dengannya.
“Baru beberapa bulan aku tinggal di
desa ini, tapi aku belum hafal tentang seluk-beluk desa ini,” ujarnya saat
langkah kami mulai menjauh dari area balai desa. “Yang aku hafal hanya area
perkebunan teh, tempat pemahatan kayu Paman Arius, dan juga area balai desa.” Ia
menjeda perkataannya dengan sedikit tertawa. “Rasanya aku seperti bukan bagian
dari desa. Tinggal di sini tapi tidak tahu-menahu soal desa ini. Terasa asing.”
Aku hanya diam mendengar
perkataannya. Wajar saja dia belum mengetahui tentang desa ini, karena baru
beberapa bulan tinggal—meski hanya tahu beberapa tempat saja. Kalau seandainya
saat pertama kali bertemu, mungkin saja aku bisa mengajak Maria berkeliling
desaku yang asri dan tenteram ini.
“Aku ingin sekali mengelilingi
seluruh area di desa tempat tinggalmu ini, Mahesa.” Maria melanjutkan
perkataannya. Dia menoleh ke arahku sambil terus tersenyum. Itu malah membuatku
semakin gugup.
Langkah demi langkah terus kami
tapaki hingga kami sudah berada di area perkebunan teh. Aku diam tanpa tahu
harus berbicara apa lagi dengannya. Bibirku terasa kelu. Pikiranku melanglang
buana, mencoba mencari topik obrolan yang kiranya bisa dibahas.
“Ada satu tempat di sini yang
menarik untuk dikunjungi.” Pada akhirnya, kalimat itu lolos begitu saja dari
mulutku.
“Tempat apa itu? Tempatnya dimana?
Apa tempatnya bagus?” Berbagai lontaran pertanyaan lolos keluar dari bibir
manisnya. Maria sangat antusias dengan tempat yang baru saja akan kuberitahu.
Kurasakan gejolak dalam diriku yang seperti melompat-lompat.
“Kamu mau tahu tempatnya, Maria?”
Maria mengangguk semangat. Tanpa basa-basi lagi aku menarik lengannya, membuat
gaun kremnya melambai-lambai tertiup angin seiring aku mengajaknya ke tempat
yang akan kami tuju. Aku bahkan tidak tahu kenapa bisa melakukan itu, sepertinya
aku melakukannya tanpa sadar.
Meski harus bersusah payah menapaki
jalan setapak dengan kerikil dan bebatuan tajam, dan juga harus melintasi hutan
lebat, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Wajah Maria berseri-seri melihat
tempat ini. Air terjun yang lumayan tinggi dengan air jernihnya jatuh
bersamaan, terpampang di depan mata. Maria langsung berlari kecil mendekati
bagian kolam di bawah air terjun itu. Dia memain-mainkan air menggunakan kedua
tangannya, mencipratkannya kesana kemari hingga gaun kremnya sedikit basah. Aku
tersenyum. Dia terlihat sangat gembira.
“Ini namanya Curug Malaikat,” ucapku
seiring berjalan mendekati Maria. Gadis cantik itu berhenti sejenak memainkan
air. Dipandangnya aku dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Curug Malaikat?” Aku mengangguk.
“Coba kamu lihat ke batu besar di
tengah kolam air terjun itu.” Aku menunjuk ke arah batu besar di tengah kolam
air terjun. Maria melihat ke arah sana masih dengan tatapan penuh tanya.
“Cahaya pada batu itu yang kusebut malaikat.”
Maria memiringkan kepala, memandang
heran padaku. “Aku tidak mengerti. Kenapa batu itu kamu sebut malaikat?”
Sudut bibirku tertarik membentuk
senyuman. Aku duduk di salah satu batu besar di tepi kolam air terjun. “Mau
dengar dongeng tentang curug ini?”
Maria tersenyum lebar, membuat kedua
matanya tertutup seperti bulan sabit. “Aku suka dongeng.” Lantas dia
menghampiriku dan duduk pada salah satu batu di sebelahku.
“Ini dongeng yang turun-temurun
diceritakan oleh warga desa.” Perlahan aku mulai menceritakan kepada Maria
sebuah dongeng tentang Curug Malaikat, curug yang sangat indah dan mengandung
mitos di dalamnya.
“Sebelum desa tempatku tinggal
berdiri, tempat ini dahulunya hanyalah hutan belantara. Bertahun-tahun tempat
ini tak ditinggali manusia, hanya dilingkupi oleh hewan-hewan beraneka ragam.
Hingga akhirnya seorang malaikat cantik turun dari langit dan mendarat di atas
batu itu.” Aku menunjuk batu yang berada di tengah-tengah air terjun. Aku
melanjutkan dongengku, “Malaikat itu mengepakkan sayap putihnya, meski air
terjun tempatnya mendarat membuat sayapnya sedikit basah. Malaikat itu
tersenyum sumringah melihat alam di sekitarnya yang sangat indah. Dia
menengadah ke atas langit, melihat langit biru disertai awan putih. Tak lama
kemudian, terdengar suara menggema dari atas langit.”
“Suara? Pasti suara Dewa di langit
ya?” Maria menyeletuk, menjeda dongeng yang sedang kuceritakan.
“Tepat sekali,” jawabku,
menjentikkan jari padanya. Kulanjutkan lagi dongengku. “Dewa di langit berseru
kepada malaikat cantik itu: “Wahai engkau Malaikatku yang paling setia.
Hendaknya kau tempati tempat yang sedang kau pijaki sekarang. Berikan tempat
ini kehidupan dengan beragam manusia di dalamnya. Jadikan tempat ini sebuah
desa yang mampu menopang segala kehidupan di hutan ini.” Malaikat cantik itu
membalas: “Tuanku yang Maha Agung, bagaimana kiranya aku bisa mewujudkan
perintahmu itu?” Sang Dewa kembali berseru: “Jangan khawatirkan hal itu,
Malaikatku yang paling setia. Akan ada seseorang yang datang ke tempatmu. Sejak
saat pertemuan kalian itulah, perintahku padamu akan terlaksana.” Malaikat itu
menunduk hormat kepada Sang Dewa. Dia pun mulai menunggu kedatangan seseorang
itu.”
“Pasti orang itu adalah seorang
pria, iya kan?” Maria kembali memotong dongengku. Dia memandangku dengan
tatapan penuh selidik. Aku terkekeh melihatnya.
“Kamu begitu penasaran sekali,
Maria,” kataku. “Tapi aku akan menyudahi dulu dongengnya sampai di sini.”
“Kok gitu?” protes Maria. Kedua
alisnya mengkerut, tak terima aku menyudahi dongeng yang sudah membuatnya
penasaran. Aku menanggapinya dengan senyum.
“Hari sudah mulai menjelang senja,
Maria. Aku harus melakukan pekerjaanku, memahat kayu di tempat Paman Arius.”
Meski sebenarnya aku ingin sekali
melanjutkan dongeng Curug Malaikat yang sempat terpotong, tapi keadaan
mengharuskanku untuk melakukan aktivitasku seperti biasanya. Memahat kayu.
Untungnya saja Maria bisa memahami situasiku.
“Aku mau lihat kamu memahat, boleh?”
dia bertanya.
“Boleh saja. Tapi aku tidak terlalu
hebat dalam memahat kayu.”
Maria memandang skeptis padaku.
Sedetik kemudian tawanya tergelak. Aku mengernyit melihatnya. “Pahatanmu sangat
bagus, Mahesa. Aku melihat-lihat pahatan buatanmu di gubuk Paman Arius.” Dia
bangkit dari duduknya, berdiri di depanku. Gaun kremnya terkibas saat semilir
angin menerpanya. “Oh iya, selain kamu jago memahat, ternyata kamu juga jago
melukis, ya. Lukisan buatanmu juga terpajang di sana, kamu seniman berbakat.”
Aku termangu. Aku diam memandang
gadis cantik di depanku dengan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Benar yang
dikatakan Paman Arius pagi tadi. Ini kali pertama hasil karyaku dipuji oleh
gadis cantik yang berasal dari kota sana. Perasaanku bercampur aduk tak karuan.
“Aku ingin sekali mempunyai satu
karya apapun itu darimu, Mahesa. Bolehkah?”
Pertanyaannya barusan membuatku
tersadar dari lamunan. Lantas aku menjawab, “B-boleh..., m-memangnya kamu mau
karya seperti apa?”
Baiklah, aku merasa semakin gugup
saja. Maria menopang dagu dengan sebelah tangannya. Bola matanya terputar ke
atas, hendak berpikir. “Hm, apa saja, asalkan itu hasil buatanmu sendiri. Ah,
benar juga.” Ia menjentikkan kedua jari. “Bulan depan perayaan Natal.”
“Kalau kamu mau, aku bisa buatkan
untukmu,” kataku gugup. Kulihat dia merekahkan senyumnya semakin lebar. “Nah,
sekarang ayo kita kembali ke desa.”
Maria mengangguk semangat. “Tapi,
kamu masih berhutang menyelesaikan dongeng tadi padaku. Kamu sudah buat aku
penasaran.”
Aku tertawa pendek. “Tenang saja,
aku akan menyelesaikannya, kok.”
Kami pun mulai berjalan meninggalkan
Curug Malaikat kembali menuju desa. Maria terus-menerus tersenyum setiap aku
bercerita tentang desa tempatku tinggal ini. Bahkan tak jarang, aku menuntunnya
berjalan saat melewati jalan bebatuan tajam agar dia tidak sampai terjatuh. Sekarang
pikiranku semakin tidak karuan. Aku memikirkan karya apa yang paling bagus
untuk gadis secantik Maria, terlebih lagi berhubungan dengan hari Natal. Banyak
ide-ide bermunculan dalam kepalaku, tapi belum ada yang sesuai dengan
pilihanku. Hingga kami akhirnya sampai di gubuk Paman Arius pun aku masih
memikirkan hal itu.
[POHON NATAL UNTUK DESY]
Senja telah
berganti malam. Lampu cempor dinyalakan pada setiap rumah di desa, sekaligus
sepasang obor menyala di masing-masing depan rumah. Sudah jadi kebiasaan kami
warga desa saat malam penuh dengan cahaya dari nyala api. Itu karena desa kami
terpencil dan belum tersedianya listrik. Meski begitu, itu justru terasa sangat
nyaman karena terciptanya rasa hangat kekeluargaan antar anggota keluarga.
Aku duduk di depan teras, bersandar
pada dinding bilik bambu sambil menatap lukisan yang baru saja kubuat pada kanvas.
Entah mengapa setelah melakukan kegiatan memahat kayu di gubuk Paman Arius tadi
sore—bersama Maria tentunya—aku kepikiran untuk membuat lukisan, sampai-sampai
aku lupa batang pohon yang kutebang kemarin bersama Tara dan Gara belum
kusentuh sama sekali. Padahal, batang pohon tersebut akan kujadikan sesuatu
untuk gadis cantik yang sudah membuatku jatuh hati padanya.
Memang kalau seseorang sudah jatuh
hati pada orang lain, pasti akan membuat sesuatu untuk orang itu sekaligus
memberi kesan menarik untuknya. Lukisan sosok Maria gadis cantik yang sudah
membuatku jatuh hati ini salah satu contohnya. Wajahnya yang selalu
terbayang-bayang dalam ingatan, membuatku ingin memvisualisasikan ke dalam
lukisan. Kalau seandainya lukisan ini kuberikan padanya, dia pasti akan senang.
“Malam-malam begini kenapa kau di
luar, Mahesa?”
Suara Ayah yang terdengar berat
masuk ke indra pendengaranku. Dia keluar dari dalam rumah dan duduk
bersebelahan denganku. “Wow. Kau melukis putri sulungnya Tuan Airlangga
rupanya. Bagus sangat lukisanmu, Nak,” lanjutnya, merasa takjub dengan lukisan
buatanku.
Kubalas hanya dengan tawa seadanya.
Sudah jadi kebiasaan ayahku jika melihat anaknya membuat suatu karya. Pujian yang
sering kudapatkan darinya.
“Ini masih belum terlalu sempurna,
Yah,” kataku seraya menunjukkan lukisan Maria padanya.
“Tidak ada yang sempurna di dunia
ini, Nak,” ujar Ayah. “Yang terpenting kau sudah berusaha melakukannya dengan
baik. Lukisanmu ini saja sudah terlihat bagus.”
“Hahaha. Terima kasih, Yah.”
Ayah menyelonjorkan kakinya. Dia
merogoh saku celana, mengambil sesuatu yang ada di dalam sana. Lantas kemudian
menunjukkannya padaku. Aku mengernyit melihat benda di genggaman Ayah. Benda
berkilau emas dan bisa menimbulkan denting nada statis jika digoyangkan.
“Lonceng?”
“Ayah mendapatkan lonceng ini dari
Tuan Airlangga saat menemaninya mengawasi kebun teh. Ambillah.” Ayah memberikan
lonceng itu kepadaku. “Lonceng itu untukmu sebagai kenang-kenangan dan tanda
terima kasih karena kau sudah menemani putrinya berjalan-jalan tadi siang.”
Aku sedikit terhenyak. “Bagaimana
Ayah bisa tahu?”
Ayah sedikit tertawa melihatku yang
sedikit terkejut dengan yang dituturkannya. “Tuan Airlangga sendiri yang mengatakannya
padaku. Sebelumnya, putrinya pun sempat menceritakannya pada ayahnya sendiri.”
“Oh.” Ya, sejak selesai kegiatan
memahat, Maria pulang kembali ke rumahnya. Aku hendak mengantarkannya, tapi dia
menolak karena jarak dari gubuk Paman Arius hingga ke rumahnya tak terlalu
jauh. Aku maklumi saja. Tapi, ada satu yang mengganjal dari perkataan ayah
barusan. Kenang-kenangan?
“Tadi Ayah bilang lonceng ini
sebagai kenang-kenangan, memangnya Tuan Airlangga beserta keluarganya akan
pergi meninggalkan desa?” tanyaku pada Ayah.
Kulihat raut wajah ayah berubah.
Alisnya ditekuk hingga menciptakan kerutan pada dahinya. “Bulan depan setelah
perayaan Natal di desa kita, Tuan Airlangga beserta keluarganya akan kembali ke
Jakarta.”
“Apa mereka akan kembali lagi ke sini,
Yah?” Entah mengapa aku sedikit merasa sesak di dada. Badanku sedikit gemetar
mendengar yang dituturkan Ayah padaku.
“Kalau itu Ayah sendiri tidak tahu,
Nak. Kau coba tanyakan saja padanya,” jawabnya. Ayah memandangku dengan tatapan
penuh selidik. “Kenapa memangnya?”
“Ah, tidak ada apa-apa kok, Yah.”
Tatapan ayah masih terus menyelidik
padaku, membuatku sedikit salah tingkah. Sedetik kemudian, dia tertawa
terbahak-bahak sambil sesekali menepuk pundakku. Setelah itu, menghela napas.
“Dasar anak muda. Ayah tahu apa yang kau rasakan, Nak. Lakukan apa yang harus kau
lakukan sebelum terlambat.” Ayah kembali menepuk pundakku, berdiri memandangku.
“Ingat, Nak, sebentar lagi perayaan Natal. Ingat saja apa yang paling identik
dengan Natal.” Setelahnya, ayah melenggang masuk ke dalam rumah, meninggalkan
aku yang masih berdiam di teras.
Sesuatu yang paling identik dengan Natal,
ya? Sinterklas? Kado Natal? Kartu ucapan? Salju? Hm, memang itu semua
berhubungan dengan Natal, tapi belum ada yang cocok denganku. Aku harus
memikirkannya lagi. Benda yang paling identik dan sering digunakan banyak orang
saat Natal...
Ah, aku tahu benda apa itu!
Tanpa basa-basi lagi, aku masuk
kembali ke dalam rumah seraya membawa lukisan Maria yang sudah kubuat.
Melenggang masuk ke dalam kamar, duduk di bangku meja belajar, menorehkan
goresan pensil di atas secarik kertas ditemani cahaya lampu cempor yang
menyinari. Kali ini Maria pasti akan sangat gembira melihat hasil karya yang
akan kubuat untuknya.
[POHON NATAL UNTUK DESY]
Pagi ini aku
sudah berada di gubuk pahat milik Paman Arius. Tidak ada waktu lagi bagiku, aku
harus memahat batang pohon yang kemarin aku tebang menjadi suatu karya yang
nantinya akan aku berikan kepada Maria. Dengan desain sketsa yang sudah kubuat
semalaman, aku mulai melakukan pekerjaanku. Kedua temanku, Tara dan Gara ikut
membantu. Pekerjaan pun akan terasa menjadi lebih mudah.
Batang pohon mulai kupotong
menggunakan gergaji, membentuk pola menyerupai batang yang lebih kecil tapi
masih terlihat kokoh. Tara membantu dengan memotong sisa-sisa batang pohon
menjadi bagian-bagian kecil yang nantinya akan kugunakan sebagai bahan
pelengkap. Sedangkan Gara memotong bagian dahan-dahan kecil disertai daun yang
menempel, lalu mengumpulkannya jadi satu di satu wadah.
“Wah, rajin sekali kalian.” Paman
Arius berseru. Dia muncul dari dalam gubuknya sambil membawa nampan berisikan
tiga cangkir cokelat hangat. Nampan tersebut ditaruhnya di atas meja kecil.
“Mau kalian buat apa batang pohon itu?”
“Membuat sesuatu yang spesial untuk
nona cantik putri dari pemilik perkebunan teh, Paman.” Tara menjawab dengan
lantang. “Mahesa sudah tahu akan memberi nona cantik itu hadiah apa.”
“Begitu rupanya. Lalu, hadiah apa
yang kalian buat untuknya?”
“Pohon Natal, Paman,” celetuk Gara.
Aku yang mendengarnya lantas menyenggol tangannya, membuatnya segera menutup
mulut dengan kedua tangan. “Yah... keceplosan.”
Tawa menggelegak di antara mereka
bertiga, sedangkan aku hanya diam dengan wajah merengut. Padahal, aku berniat
merahasiakannya dulu dari orang-orang, biar surprise
kalau kata orang kota. Tapi semua sirna karena Gara sudah membocorkan rahasia.
“Sudahlah, tak apa-apa, Mahesa,”
ujar Paman Arius seraya menepuk pundakku. “Yang kau buat saat ini sangat pas
dengan momennya, sebentar lagi kan perayaan Natal. Aku yakin Desy pasti suka
dengan pemberianmu ini nanti.”
Kutanggapi perkataan Paman Arius
dengan tawa kecil. “Semoga saja dia suka, Paman.”
“Hei, Mahesa, kalau kamu sudah
memberikan pohon Natal padanya, lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya Tara.
Kurasakan setiap pandangan dari mereka menohok diriku. Aku menggarukkan
belakang kepala yang tidak gatal.
“Aku tidak tahu,” jawabku seadanya.
“Ungkapkan saja perasaanmu padanya,
Mahesa,” ujar Gara. Sebelah tangannya kurasakan berada di pundakku. “Sebelum
terlambat.”
Kucerna perkataan Gara barusan masuk
ke dalam kepalaku. Sebenarnya aku masih tidak terlalu yakin dengan perasaan
yang aku rasakan. Memang benar Maria sudah membuatku jatuh hati, tapi hanya
dengan itu aku tidak yakin kalau perasaanku bisa tersampaikan padanya, terlebih
lagi aku dan Maria belum terlalu lama saling mengenal.
Alih-alih menanggapi omongan Gara,
aku melanjutkan pekerjaanku membuat pohon Natal. Tak kuhiraukan tatapan-tatapan
kedua temanku dan Paman Arius yang memandangku heran. Aku mengerti mereka
berusaha membantuku, tapi aku sendiri merasa tidak yakin apa itu akan berhasil.
Cukup membutuhkan waktu lama juga
membuat satu pohon Natal hingga tak kusadari matahari sudah semakin condong ke
atas langit. Pohon Natal yang kubuat pun sudah setengah jadi, tinggal memasang
beberapa komponen lagi pohon Natal pun terbentuk sempurna. Aku mengistirahatkan
diri sejenak duduk di salah satu kursi kayu sambil memperhatikan Tara dan Gara
yang masih melakukan pekerjaannya. Cangkir cokelat yang mendingin aku ambil dan
kutenggak hingga tandas. Rasa manis dari cokelat membuat pikiranku jadi rileks.
Lantas pikiranku terfokus pada satu titik.
Tumben
sekali aku tidak melihat Maria hari ini—bahkan sejak pagi—, biasanya dia sering
keluar berjalan-jalan di sekitar sini.
“Selamat siang.”
Ah, baru saja sedang kupikirkan,
sosoknya tiba-tiba datang ke sini. Mungkin Tuhan mentakdirkan aku berjodoh
dengannya.
“S-siang, Maria.” Aku membalas
sapaannya. Rasa gugup itu datang lagi, malah melebihi kemarin. Terang saja aku
merasa gugup melihat bidadari tak bersayap yang tersesat dan tinggal di desa
ini. Kulihat Maria tersenyum manis hingga membuat kelopak matanya menutup
seperti bulan sabit. Sial, aku tidak bisa menahan rasa gugup ini lebih lama
lagi.
“Hai, Mahesa.” Dia melambaikan
tangan padaku sambil tersenyum. Aku terdiam.
“Eh, ada nona cantik.” Gara
menyahut. Disimpannya sejenak pisau pahat di tanah. “Sini masuk, Non Desy.”
“Hei, Mahesa, ini gadismu datang.
Sapalah dia, jangan kau berdiam diri.” Tara menambahkan. Aku tak
menghiraukannya, alih-alih pandanganku terus melekat pada gadis di depanku.
Kurasakan sentuhan tangan Tara mengacak-acak rambutku. “Hah... maaf ya, Non
Desy. Dia selalu begini kalau bertemu gadis cantik.”
Kudengarkan tawa Maria tergelak.
Suara tawanya yang khas itu seakan-akan terasa menggelitik. Ditambah lagi
matanya membentuk bulan sabit, menambah kesan cantik pada gadis ini. “Jangan
panggil Non Desy, dong, panggil Desy saja.”
“Non Desy... eh, Desy ada perlu apa
datang ke sini, pasti mau bertemu Mahesa, ya?” tanya Gara, menaik-naikkan kedua
alisnya. Maria menanggapi dengan tawa khasnya. Dia menganggukkan kepala dengan
semangat.
“Wah, beruntung kau, Mahesa.” Satu
tepukan keras dari Tara pada pundak menyadarkanku kembali menuju ke kesadaran.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. “Mahesa, ajaklah dia jalan-jalan, biar pekerjaan
ini aku dan Gara yang menyelesaikannya.”
“T-tapi...”
“Sudahlah, ayo. Kasihan gadis
secantik dia menunggu terlalu lama.”
Tara mendorong tubuhku hingga aku
hampir bertubrukan dengan Maria. Kurasakan gejolak dalam diri seperti
melompat-lompat melihat wajah Maria sedekat ini. Rasanya dia seperti jelmaan
malaikat di dongeng Curug Malaikat yang aku ceritakan kemarin. Dia hanya
merekahkan senyum, lantas berbalik badan memunggungiku.
Satu bisikan dari Gara masuk ke
telingaku. “Dia memberimu kesempatan, Mahesa, jangan sampai kau lewatkan.”
Ada semacam suntikan dorongan
menyengat ke tubuhku. Tanpa tedeng aling aku menarik lengan Maria, membawanya
pergi berjalan-jalan entah kemana, yang pasti masih di sekitaran desa ini.
Sepanjang jalan bibirku terasa kelu,
tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pun. Di sampingku, dia terus-menerus
merekahkan senyum. Senyumnya malah membuatku semakin gelagapan. Bahkan aku
sendiripun tidak mengetahui sudah berapa lama aku menggenggam tangannya
sepanjang perjalanan.
Kami menyusuri hutan lebat di
sekitar desa. Tujuanku kali ini bukan ke Curug Malaikat lagi, melainkan ke satu
tempat yang tak kalah menarik dengan tempat kemarin. Maria bertanya-tanya
padaku hendak membawanya ke mana. Aku tak menjawab, membiarkannya diliputi rasa
penasaran. Sesekali dia menggeretu karena tempat yang kami tuju belum terlihat
penampakannya. Aku tidak ingin membuatnya kecewa, maka kupercepat langkah
sambil terus memegang lengannya. Beruntung, jalan setapak yang kami lewati
tidak separah jalan kemarin.
Pada akhirnya, kami pun sampai di
tempat tujuan. Maria mengernyitkan dahi melihat panorama alam di depan mata. Area
agak luas seperti aula dengan rentetan pohon yang mengelilinginya. Maria
memiringkan kepala, menoleh padaku dengan pertanyaan yang siap dilontarkan
mulutnya. Sebelum dia menanyakannya, aku langsung menjawab rasa penasarannya.
“Orang-orang di desaku sering
menyebutnya Leuweung Pikanyaah. Yang berarti hutan yang paling disayangi.”
Dari raut wajahnya, kutaksir Maria
kebingungan dengan yang aku katakan. Terang saja karena dia dihadapkan dengan
tempat baru lainnya, tentunya masih terasa asing.
“Biasanya tempat ini dipakai oleh
warga desa untuk acara-acara tertentu, seperti upacara adat atau acara besar
lainnya.” Kuperhatikan lagi Maria. Dia masih belum mengerti. “Di sini hawanya
jauh lebih sejuk dibanding tempat lain. Kamu tidak akan menyangka kalau ini
adalah tempat favoritku.” Kutatap lagi Maria yang sedang memperhatikan sekitar
tempat ini. “Kalau suasana hatiku sedang buruk, aku biasanya akan pergi ke sini
dan melakukan satu hal.”
Pandangan Maria langsung tertuju
padaku. Bisa kurasakan rasa penasaran semakin menggelayutinya hanya dengan
melihat tatapannya saja. “Memangnya kamu melakukan apa di tempat ini?” dia
mulai bertanya.
Genggaman tanganku pada tangannya
semakin erat. Entah sudah berapa lama tanganku dalam posisi seperti itu,
seperti ada semacam dorongan dari dalam diriku untuk melakukannya. Dan yang
lebih parahnya, Maria tidak merasa segan sama sekali saat aku memegang
tangannya, bahkan kurasakan tangannya ikut menggenggam kuat tanganku.
“Aku akan menunjukkannya padamu,”
kataku seraya menarik kembali lengannya, berjalan ke salah satu pohon besar
dengan bangunan rumah pohon di atasnya.
Maria mengernyitkan dahi melihat
rumah pohon di atas sana. “Kita mau ngapain?”
“Aku barusan sudah bilang, kalau aku
mau menunjukkannya padamu,” jawabku tanpa melepas genggaman tanganku pada
tangannya. “Ayo naik.”
Meski ada sedikit keraguan terpancar
dari balik matanya, Maria mau mengikuti ajakanku naik ke atas rumah pohon.
Dengan pijakan anak-anak tangga kayu yang menancap pada batang pohon, aku naik
terlebih dahulu. Setelah sampai ke atas, Maria mulai naik ke atas. Dia sedikit
merasa kesusahan saat naik. Gaun putih sebatas lututnya sesekali tersangkut
pada paku yang mencuat di setiap anak tangga. Meski begitu, dia berhasil naik
ke atas sini dengan bantuan tanganku yang menariknya.
“Fiuh... untung saja aku tidak
jatuh,” omel Maria. Kutanggapi dengan senyuman. Dia mulai menerawang sekitar
rumah pohon ini. “Aku tidak menyangka di sini ternyata luas juga. Aku pikir
rumah pohon tidak seluas ini bagian dalamnya.”
“Ini pertama kalinya kamu
mengunjungi rumah pohon?”
Maria menggeleng. “Di kota tempatku
tinggal, aku pernah masuk ke rumah pohon tapi ruangannya sangat sempit,
membuatku tidak betah berlama-lama. Lalu, letaknya juga tidak setinggi ini.”
“Aku kira di kota tidak ada rumah
pohon.” Satu pukulan pelan darinya mendarat di lenganku.
“Ada, kok,” timpalnya. “Dulu papaku
membuatkannya untukku, tapi ukurannya tidak besar cenderung kecil dan membuatku
tidak nyaman.”
Aku manggut-manggut. Dari sejak aku
kecil hingga sekarang dewasa, aku sama sekali belum pernah main ke kota. Makanya
aku baru tahu kalau di kota sana juga hal seperti ini ternyata masih ada. Kualihkan
pandangan menuju jendela rumah pohon ini. Tanganku kembali menggenggam
tangannya, hendak membawanya menuju jendela di depan sana.
“Aku mau menunjukkan apa yang sering
aku lakukan di tempat ini padamu.”
Maria menurut saat aku menariknya
menuju jendela. Kedua matanya berbinar cerah melihat lukisan alam di depan
mata. Hamparan vegetasi hutan hijau dengan burung-burung beterbangan di atas
pepohonan. Bisa kulihat pandangan Maria masih terkunci pada panorama tersebut.
Sudut bibirnya membentuk senyum lebar dengan deretan gigi putih yang terlihat
cerah. Senyumnya itu seakan-akan menghipnotisku untuk terus menatapnya. Memang
sungguh cantik ciptaan-Mu ini.
Aku menopang kedua tangan pada kusen
jendela. Tatapanku mengarah ke depan, memosisikan dua jari pada mulut dan
bersiul dengan lantang. Kurasakan tatapan menohok dari Maria yang sedang
melakukan sesuatu seperti tak biasanya. Alih-alih aku pun terus melanjutkan
siulanku.
Seekor burung hantu kecil tiba-tiba
mendarat di kusen jendela. Maria terkejut melihat kedatangan hewan yang
dianggap mitos sebagai penanda roh halus itu. Aku sudah terbiasa dengan
kehadiran burung hantu kecil ini, karena dia yang menemaniku jika aku
berkunjung ke sini. Burung hantu ini liar, tapi aku berhasil menjinakkannya
sejak umurku duabelas tahun.
“Kenapa burung hantunya tiba-tiba
datang ke sini?” tanya Maria yang masih terkejut.
Tanganku mengusap-usap bulu-bulu
halus burung hantu kecil ini dengan lembut. “Aku yang memanggilnya ke sini. Ini
yang sering kulakukan jika sedang berkunjung ke sini, bermain dengan burung
hantu kecil ini.”
“Bermain?” Aku mengangguk.
“Burung hantu ini bernama
Parashakti,” kataku sambil terus mengusap lembut burung hantu ini.
“Namanya bagus seperti nama kamu,
Mahesa.” Dia sedikit tertawa. Dia mulai memberanikan diri ikut mengusap bulu
Parashakti yang lembut ini. “Oh iya, tadi kamu bilang tempat ini disebut
Leuweung Pikanyaah, memangnya kenapa bisa disebut seperti itu?”
Tanganku berhenti mengusap lembut
bulu Parashakti. Alih-alih menyuruhnya kembali terbang meninggalkan rumah
pohon. Aku bersitatap dengan Maria. Kulihat tatapannya dipenuhi berbagai
pertanyaan.
“Aku akan memberitahunya dengan satu
dongeng,” ucapku seraya menyandarkan punggung pada dinding rumah pohon. Maria
ikut menyandarkan punggungnya di sebelahku. Tatapannya masih menohok diriku.
“Oh iya, kamu berhutang padaku
menyelesaikan dongeng kemarin. Ayo, selesaikan.”
Aku sedikit tertawa. “Memang itu
yang akan aku lakukan, Maria. Kelanjutan dongeng kemarin tentang Curug Malaikat
akan berhubungan dengan dongeng di tempat ini.”
Maria mengerucutkan bibir. Kepalanya
manggut-manggut menanggapi ucapanku. “Jadi, dongeng yang kemarin itu
berhubungan dengan tempat ini?”
Aku mengangguk. Lantas, aku mulai
bercerita layaknya seorang pendongeng pada anak-anak. “Setelah mendengarkan perintah dari Sang Dewa, malaikat cantik itu duduk
menunggu di atas batu yang dipijakinya, menunggu seseorang yang akan
menghampirinya. Entah siapa orang itu, ia sendiri pun tidak tahu. Saat langit
cerah berubah menjadi langit senja, seorang pangeran dari kerajaan Sandekala
datang menghampiri si malaikat. Rasa terkejut dirasakan olehnya, karena ini
kali pertamanya ia melihat malaikat yang turun ke bumi.”
“Pasti
setelah itu, si malaikat akan bilang; “Hei, jangan takut.”, seperti yang banyak
ditulis di dongeng-dongeng. Benar, kan?” Maria memotong jalannya dongeng yang
sedang kuceritakan.
Kubalas
dia dengan sedikit tertawa. “Dengarkan dulu sampai selesai, Maria. Yang terjadi
selanjutnya pasti kamu tidak akan suka.”
“Lalu,
bagaimana kelanjutannya?”
Aku
melanjutkan. “Yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Pangeran itu
mengangsurkan pedangnya, berlari menuju si malaikat, lantas menebas sepasang
sayap putihnya hingga putus. Malaikat memekik kesakitan. Sayap miliknya
merupakan sumber kekuatan sekaligus alat untuk kembali terbang ke langit sana.
Jika sayapnya rusak ataupun terpotong, maka kekuatannya akan hilang. Risiko
terburuknya adalah ia tidak akan bisa kembali ke langit untuk selamanya. Seumur
hidup dia akan tinggal di bumi.”
“Kejam
sekali!” Maria mengumpat kesal. Ekspresinya berubah serius. “Aku pikir pangeran
itu akan berusaha berkenalan dengan si malaikat.”
Lantas,
aku kembali melanjutkan. “Sadar akan perbuatannya, pangeran itu
menjatuhkan pedangnya. Ia segera menghampiri malaikat itu hendak meminta maaf.
Namun, si malaikat merasa takut dengannya setelah apa yang telah diperbuat
pangeran padanya. Sebenarnya pangeran tidak ingin melakukan hal kejam seperti
tadi. Itu murni karena ketidaksengajaan.”
“Pangeran itu aneh sekali,” potong
Maria. “Kalau karena tidak sengaja, seharusnya dia tidak mengeluarkan
pedangnya, melainkan terperangah atau langsung melarikan diri. Dia kan kali
pertama melihat malaikat.”
“Setiap orang memiliki rasa
terkejutnya masing-masing, Maria,” kataku sambil memosisikan diri duduk
bersandar pada dinding rumah pohon. “Yang dilakukan si pangeran murni ketidaksengajaan.
Dia reflek begitu saja melihat sosok si malaikat.”
“Lalu, bagaimana kelanjutannya?”
Maria ikut duduk bersandar di sebelahku. Aku melanjutkan dongengku.
“Meski punggung malaikat itu ternoda
darahnya sendiri, ia berusaha menjauh dari pangeran. Ia sudah ketakutan. Ia
takut jika si pangeran akan menyerangnya kembali dan membuatnya semakin
terluka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Si pangeran membopong si
malaikat ke pangkuannya. Dia lantas berlari, membawa malaikat itu meninggalkan
air terjun. Kamu tahu kemana dia membawa malaikat itu pergi?”
Kualihkan pandangan ke Maria di
sampingku yang sedang bersendang dagu. Kedua matanya melirik ke atas, hendak
berpikir. “Hm, pasti ke tempat ini, kan?”
“Tepat sekali.” Aku menjentikkan
jari di samping wajahnya. Lalu, kembali melanjutkan dongengku. “Pangeran
membawa malaikat itu ke tempat lumayan luas dengan rimbun pepohonan yang
mengelilinginya. Setelah lukanya diobati, pangeran membawanya ke satu gubuk
kecil, tempat tinggalnya sementara. Dari situlah kedekatan antara mereka
dimulai. Dan tempat inilah yang nantinya dinamakan Leuweung Pikanyaah. Si
pangeran sudah mengetahui kenapa si malaikat cantik jelita itu bisa turun ke
bumi. Begitupun si malaikat, dia mengetahui maksud dan tujuan si pangeran
datang ke hutan ini. Rupanya ia ingin membangun sebuah kerajaan baru di tempat
ini. Bertahun-tahun hidup bersama, timbul perasaan cinta di antara keduanya.
“Tigapuluh tahun mereka hidup
bersama di hutan ini, sedikit demi sedikit kerajaan yang mereka bangun sudah
berdiri. Kerajaan itu diberi nama Kerajaan Cahya Sakti. Para penduduk dari
berbagai golongan dan keyakinan mulai menempati kerajaan itu. Bahkan anak cucu
dari si pangeran dan malaikat pun ikut andil bagian dalam kerajaan. Sumber daya
di hutan ini yang melimpah membuat masyarakatnya semakin makmur dan produktif.
Tapi, suatu hari muncul kejadian buruk menimpa kerajaan itu.”
“Kejadian buruk apa itu?” Maria
kembali memotong dongeng yang sedang kuceritakan. “Firasatku mendadak tidak
enak.”
Sejenak kuhela napas panjang.
Mendongeng ternyata melelahkan juga. Aku melanjutkan, “Langit cerah tiba-tiba
berubah gelap. Gumpalan awan hitam pekat menghiasi langit disertai petir
menyambar dan hembusan angin kencang. Petir dan angin kencang itu menyerang
penduduk kerajaan. Tak ayal semua makhluk di dalam kerajaan itu dilanda
kepanikan. Si pangeran dan si malaikat tentu saja kebingungan bagaimana cara
menghentikan musibah yang datang tiba-tiba ini. Korban mulai berjatuhan. Banyak
penduduk kerajaan tewas terpanggang disambar petir dan terkena hembusan angin.
Pangeran merasa frustasi dan tak mampu menolong para penduduknya. Sedangkan si
malaikat hanya diam terpaku.”
Kudengar Maria sedang menguap. Dia
mengatupkan mulutnya menggunakan kedua tangannya. Padahal malam belum tiba,
tapi gadis cantik ini sudah mengantuk.
“Maria, kamu ngantuk?” tanyaku. Dia
menggeleng. Lucu, jelas-jelas dia mengantuk. Kedua matanya mengerjap dan sedikit
kemerahan. “Kita pulang saja kalau begitu.”
Dia lagi-lagi menggeleng. “Tidak
mau. Aku masih penasaran sama dongengnya,” ucapnya.
“Tapi kamu sudah mengantuk, Maria.”
“Tidak apa-apa. Ayo, lanjutkan
dongengnya.”
Dia menyandarkan kepala pada dinding
rumah pohon, menunjukkan senyum bulan sabitnya padaku. Sial, itu malah
membuatku terhenyak. Aku semakin tak berkutik dibuatnya. Alih-alih menghentikan
dongengku, aku mengurungkannya dan kembali melanjutkan.
“Baik, aku akan lanjutkan.” Aku
melihat sejenak wajah gadis cantik di sebelahku ini. Dia masih tersenyum padaku.
Lantas, kuhela napas pendek. “Di tengah keputusasaan, si malaikat memohon
bantuan kepada Sang Dewa agar bisa mengembalikan kerajaannya. Namun, Sang Dewa
tak menjawab permohonannya. Tak ada yang bisa dilakukan, terlebih lagi si
pangeran mengangkat pedangnya sendiri, kemudian menusuk perutnya hingga tak
bernyawa. Tak ayal hal itu membuat si malaikat merasa terpukul. Ia sudah
kehilangan pria yang dicintainya.”
“Kasihan sekali,” Maria menyeletuk.
Kurasakan kepalanya bersandar pada bahuku. Itu malah membuat jantungku berhenti
berdetak. Dia lagi-lagi menguap, pertanda rasa kantuk semakin menguasainya.
“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku berada di posisi si
malaikat. Kalau mentalku lemah, pasti aku akan ikut bunuh diri.”
Tak kuhiarukan perkataannya itu,
membiarkannya kembali merasakan rasa kantuk. Aku melanjutkan dongengku.
“Malaikat yang merasa terpukul itu pergi meninggalkan kerajaan. Dia kembali ke
air terjun tempat dimana ia menginjakkan kaki pertama kali ke bumi. Dia
bersimpuh pada atas batu di tengah kolam air terjun, memohon kembali kepada
Sang Dewa. Akhirnya, Sang Dewa menjawab permohonannya. Ia berseru; “Wahai
Malaikatku yang paling setia, kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Sudah
saatnya kamu kembali ke sisiku.”. Setelah berkata begitu, cahaya putih menyorot
malaikat itu. Cahaya tersebut mulai mengikis tubuh si malaikat dan perlahan
menghilang. Dari cahaya itulah maka disebut dengan Curug Malaikat.”
Aku menghela napas panjang setelah
lelah bercerita kepada Maria. Bahkan jemariku terasa sangat lelah menulis
penggalan dongeng ini di sini. Kalau saja si Yang-Punya-Kuasa kisah tak memberi makanan kesukaanku, aku tidak
akan menuliskannya.
Lagi-lagi aku menghela napas panjang
saat melihat Maria di sampingku sudah tertidur pulas. Padahal sudah
kuperingatkan untuk pulang, tapi dia tetap kekeh ingin mendengar kelanjutan
dongengku. Ya sudahlah.
Dia terlihat semakin cantik jika
sedang tertidur. Poni rambut yang sedikit menutupi wajahnya aku singkirkan
perlahan agar semakin mudah melihat wajah cantiknya. Memang malaikat Tuhan satu
ini semakin membuatku tak berkutik dibuatnya. Jika diberi kesempatan, aku ingin
terus-menerus melihat wajah cantiknya.
Tak kusadari senja semakin meredup,
aku harus kembali ke desa. Tapi, melihat Maria tertidur pulas seperti ini,
membuatku jadi tidak tega membangunkannya. Mau bagaimana pun tetap saja kami
harus kembali.
Tak mau membangunkannya, aku
mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Lantas kupeluk erat saat hendak turun dari
rumah pohon ini. Akses termudah untuk turun dari rumah pohon ini adalah melalui
untaian tali tambang yang menjuntai ke bawah. Hati-hati aku menuruni rumah
pohon tanpa melepaskan pelukanku pada Maria. Tak bisa kusangka, ia juga
merespon pelukanku dengan erat saat aku meluncur di untaian tali tambang.
Saat kakiku berpijak ke tanah, debaran
jantungku semakin tak karuan mengingat kejadian tadi. Lantas, aku melepaskan
pelukanku, memapah tubuh Maria pada punggung agar aku bisa lebih mudah
menggendongnya.
“Mahesa, terima kasih.”
Bisikan ucapan terima kasih darinya
membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menoleh ke arahnya, dia masih
tertidur tapi sudut bibirnya membentuk senyuman. Baiklah, Maria, kamu membuatku jadi semakin tak berkutik.
[POHON NATAL UNTUK DESY]
Tadinya aku
ingin memperlihatkan sketsa pohon Natal yang baru setengah jadi kubuat kepada
kalian. Tapi, si Yang-Punya-Kuasa
kisah ini, alias temanku dari Bandung, tidak menginzinkanku memperlihatkannya.
Padahal pohon Natal ini terlihat bagus. Akan sangat disayangkan jika kalian
tidak melihatnya. Tapi, ya sudahlah. Temanku yang paling memiliki kuasa di
kisah ini, aku hanya sekadar membantu menuliskannya.
Baik, kembali ke
cerita.
“Tara, tegakan yang benar! Kalau
tidak pohonnya bisa mudah jatuh!”
“Ini sedang kulakukan! Kau ini
cerewet sekali!”
Aktifitas siang hari ini aku berniat
untuk menyelesaikan pohon Natal yang sudah setengah jadi. Batang pohon yang
sudah dipahat menjadi berukuran lebih kecil dari sebelumnya dengan
ukiran-ukiran motif batik di sekelilingnya sedang berusaha ditegakkan oleh Tara
dan Gara. Di sekeliling batang pohon tersebut terdapat beberapa batang kayu
kecil yang berfungsi sebagai dahannya. Hanya tinggal memasang dedaunan ke
sekitar dahan itu, dan jadilah bentuk dari pohon Natal.
Kalau kata Paman Arius, untuk bisa
menyempurnakan pohon Natal ini harus menggunakan dedaunan dari pohon pinus agar
terlihat seperti asli. Padahal sebelumnya, aku coba menyarankan agar
menggunakan dedaunan yang lain saja, tapi Paman Arius bilang itu bisa saja,
namun hasilnya akan kurang maksimal. Alhasil, Paman Arius memintaku untuk
mencari dan mengumpulkan dedaunan pinus di hutan.
“Aku tidak mengerti kenapa perayaan Natal
identik dengan pohon Natal?”
Ratu tiba-tiba bertanya padaku di
tengah perjalanan menuju hutan pinus. Sejak Paman Arius memintaku mengumpulkan
dedaunan pinus, Ratu datang berkunjung ke tempat pemahatan Paman Arius. Dia
menyerahkan sekeranjang jagung kepada paman. Dan kebetulan, dia mengerti
tentang berbagai macam daun di hutan. Oleh karenanya, Ratu ikut pergi bersamaku
mencari dedaunan pinus.
“Yang biasanya aku lihat saat Natal
itu pohonnya dihias sedemikian rupa,” Ratu melanjutkan bicaranya. “Penuh dengan
kelap-kelip lampu. Lalu, ada semacam hiasan seperti bola-bola berwarna-warni
dan juga manik-manik. Kemudian, ada bintang di puncak pohonnya.” Ratu
memosisikan kedua tangannya di belakang punggungnya seiring langkah kami sudah
memasuki hutan pinus. Dia memiringkan kepalanya ke arahku. “Oh ya, kadang
kulihat di bawah atau sekitaran pohonnya terdapat gua yang terbuat dari kertas
semen. Di dalamnya ada patung-patung manusia dan hewan ternak, bahkan ada
patung malaikatnya juga. Terlihat sangat menarik menurutku.”
Aku menengadah ke atas, melihat
rimbunnya dedaunan pohon pinus yang membentuk seperti kanopi. Angin segar
berhembus lembut, menggoyang-goyangkan dahan pohon. Aku menghirup napas
panjang, lantas menghembuskannya perlahan. Kuresapi sejenak perkataan Ratu
barusan, berusaha mencari kata untuk memberi penjelasan.
“Biasanya, pohon identik dengan
silsilah keluarga,” Aku mulai menjelaskan. “Menurutku, semakin rimbun dan kokoh
pohon tersebut, maka semakin banyak juga keluarga yang terbangun dengan relasi
yang sama. Mereka akan saling bahu-membahu menopang kokohnya pohon agar terus
tegak berdiri, meski dengan sifat masing-masing yang berbeda.” Aku berhenti di
salah satu pohon pinus. Ratu mengikutiku dan berdiri di sebelahku. Tangan
kananku sedikit menepuk perlahan pohon pinus di depanku. “Tentunya dengan kasih
sayang.”
“Berarti, jika salah satu daun atau
dahan dari pohon itu ada yang gugur atau rusak, maka itu tandanya mereka
kehilangan salah satu anggota keluarganya,” ucap Ratu. Dia tampaknya sudah
mengerti maksud dari penjelasanku.
“Ya, begitulah menurutku,” kataku.
Aku mengeluarkan sebilah golok kecil dan seutas tali tambang dari dalam tas
punggungku. “Sama halnya dengan pohon Natal, Ratu. Semua keluarga akan
berkumpul di perayaan Natal, saling bersilaturahmi satu sama lain, dan
merayakan Natal bersama dengan penuh suka cita. Hiasan-hiasan yang ada di pohon
Natal tersebut menandakan tentang kesukacitaan mereka, karena bisa berkumpul
kembali dengan masing-masing anggota keluarga.”
Kulihat Ratu manggut-manggut
menanggapi penjelasanku. “Hm, begitu, ya. Aku jadi sedikit paham.” Tali tambang
yang kukeluarkan lantas aku lilitkan ke batang pohon pinus agar aku mudah
memanjatnya. Kurasakan lengan Ratu sudah berada di pinggangku dengan sisa tali
tambang yang melilit pinggangku. “Sini, biar kubantu.”
“Terima kasih.”
“Jangan sampai terjatuh, Mahesa,”
ujar Ratu memperingatiku. Ikatan tali tambang pada pinggangku terasa kencang.
Ratu sudah berada di sebelahku seraya menyunggingkan senyum manis. “Kalau kamu
sampai terjatuh, pohon Natal yang susah payah kamu buat tidak akan sampai ke gadismu,
Maria Genoveva Natalia Desy Purnamasari Gunawan.”
Kutanggapi dengan tawa kecil. Lantas
membalasnya dengan senyuman lebar. “Tenang saja, Ratu. Aku kan sudah
berpengalaman dalam hal ini.”
Pukulan ringan darinya mendarat di
lengan kiriku. Dia sedikit tertawa. “Walaupun kamu berpengalaman, tetap saja
kamu harus berhati-hati.”
“Iya, Ratu Vienny Fitrilya.”
Lantas dengan hati-hati aku mulai
memanjat pohon pinus ini. Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di puncak
pohon, karena aku sudah terbiasa memanjat pohon seperti ini. Aku mulai
memilah-milah dahan mana saja yang mempunyai banyak dedaunan pinus. Ratu yang
berada di bawah mengarahkanku mana saja dahan yang layak dipotong. Sesuai
dengan instruksinya, aku memotong dahan-dahan pohon pinus dan mejatuhkannya ke
bawah. Kemudian Ratu mengumpulkan dahan-dahan yang terjatuh menjadi satu.
“Sepertinya sudah cukup, Mahesa,”
ujar Ratu dari bawah pohon. “Ayo turun, kita kembali ke gubuk Paman Arius.”
“Iya, sebentar.”
Aku mulai turun dari pohon pinus ini
dengan hati-hati. Aku melepaskan ikatan tali tambang yang melilit pinggangku,
lalu membantu Ratu mengumpulkan dahan-dahan pinus yang baru saja aku potong.
“Aku dengar kemarin kamu berjalan
berdua dengan Maria, ya?” Pertanyaan Ratu barusan menohok diriku. Jantungku
seakan-akan meloncat dari rongganya.
“Dari mana kamu tahu?”
Dia tertawa menanggapi pertanyaanku.
Alih-alih mulai melilitkan tali ke setumpuk dahan dedaunan pinus. “Tara dan
Gara yang menceritakannya padaku saat aku berkunjung ke gubuk Paman Arius siang
kemarin.”
Sebelah tanganku menggaruk-garukan
belakang kepalaku. Yang Ratu pertanyakan itu benar adanya. “Iya, hehehe.”
“Hebat!” Ratu bertepuk tangan dengan
riang sambil tersenyum lebar padaku. “Kamu ada kemajuan, Mahesa. Aku yakin dia
juga pasti mengalami hal yang sama denganmu.”
Aku cengengesan menanggapi
perkataannya. Kedua tanganku mulai membentuk simpul pada tali yang melilit
dahan dedaunan pinus. “Entah mengapa aku merasa tidak yakin bisa mengutarakan
perasaanku ini padanya, Ratu.”
“Lho, kenapa?”
“Entahlah.” Kuhela napas panjang.
Sentuhan kecil dari lengan Ratu
kurasakan mendarat pada bahu kiriku. “Percaya dirilah, Mahesa. Kamu harus yakin
dengan perasaanmu.” Kepalaku menoleh ke arahnya, kudapati seutas senyum manis
terpancar di bibirnya. “Kalau kamu tidak yakin pada dirimu sendiri, kamu tidak
akan bisa tahu apakah Maria memiliki perasaan yang sama atau tidak.” Ratu
sedikit mencondongkan badannya ke arahku tanpa melepas senyum manisnya. “Di
hari Natal nanti, Maria juga berulang tahun, lho.”
Aku tertegun. “Benarkah?”
Ratu mengangguk. Sejak kedekatanku
dengan Maria, selama ini aku tidak mengetahui tentang hari ulang tahun gadis
cantik yang sudah meluluhkan hatiku ini. Aku tidak pernah menanyakan hal ini ke
teman-temanku, bahkan bertanya padanya pun enggan. Sungguh, ini suatu
kebetulan, Maria berulang tahun tepat di hari Natal. Otomatis hadiah pohon Natal
yang kubuat ini selain sebagai hadiah Natal, juga sebagai hadiah ulang
tahunnya.
“Suatu kebetulan yang tak
disangka-sangka,” kata Ratu. “Momennya sangat pas, Mahesa, apalagi pohon Natalmu
selain sebagai hadiah Natal juga sebagai hadiah ulang tahun untuknya.”
“T-tapi tetap saja aku masih kurang
yakin...”
Ratu menghela napas panjang.
Diraihnya kedua tanganku, mengurutnya perlahan menggunakan jemari lentiknya.
Seutas senyum mengembang di bibirnya yang manis itu. “Kemarin kamu bisa jalan
berdua dengannya, masa sampai sekarang masih tidak percaya pada dirimu
sendiri?” Dilepaskannya genggaman pada tanganku. Ada semacam senyum tersirat
tampak di wajahnya. Sebelah alisnya terangkat. “Bahkan, kemarin kamu
mengantarkannya pulang dengan kondisi dia yang tertidur pulas. Bukankah itu
menandakan bahwa kamu sudah selangkah lebih maju dibanding sebelumnya?”
“Kenapa kamu bisa tahu?” Lagi-lagi
aku terhenyak. Entah mengapa Ratu bagaikan detektif yang tahu apa yang sudah
aku lakukan. Rasanya aku seperti seorang penjahat yang sedang diinterogasi
olehnya.
Ratu tertawa. Sebelah tangannya
menutup mulutnya agar suara tawa yang keluar tidak terlalu keras. “Aku
melihatmu di kebun teh saat kamu mengantar Maria ke rumahnya. Kamu terlihat
kuat sekali menggendong gadis itu, padahal dia sedikit lebih tinggi dibanding
denganmu.”
“Ternyata begitu, ya.” Aku ikut
tertawa menanggapi perkataan Ratu barusan. Memang kemarin aku mengantarkan
Maria kembali ke rumahnya. Dia tertidur sangat pulas saat itu, membuatku tidak
tega membangunkannya. Saat sampai di rumahnya, aku disambut baik oleh kedua
orang tuanya dan memintaku untuk membaringkan Maria di tempat tidur kamarnya.
Kukira tidak akan ada yang melihatku seperti itu, tapi ternyata akhirnya
ketahuan juga.
“Bagaimana, masih ingin tetap
berjibaku dengan rasa tidak percaya dirimu atau mau berani mengungkapkannya?”
tanya Ratu. Pandangannya menatap lekat padaku tanpa menghilangkan senyum di
bibirnya.
Ada benarnya juga yang diucapkan
Ratu. Memang rasa tidak percaya diri ini selalu menghantuiku, terlebih lagi
terhadap gadis yang kusukai. Tapi mengingat kejadian kemarin bersama Maria,
sedikit demi sedikit rasa percaya diriku timbul.
“Kamu benar juga, Ratu,” kataku
seraya menyunggingkan seutas senyum.
Kulihat Ratu ikut tersenyum. “Jadi?”
Aku mengangguk. Lantas, dia bertepuk tangan dengan riang. “Nah, itu baru
namanya pemuda desa yang tangguh.”
“Hahaha. Sudahlah, ayo kita pulang.”
[POHON NATAL UNTUK DESY]
Tanpa terasa
bulan Desember telah tiba. Pohon Natal yang sudah susah payah kubuat sebulan
ini akhirnya selesai. Tapi, bentuknya masih seperti pohon Natal biasa, belum
ada pernak-pernik yang menghiasi pohon tersebut. Itu karena di desaku tidak ada
warga yang memiliki pernak-pernik hiasan untuk pohon Natal. Semua itu bisa
didapat dengan pergi ke kota dan membelinya, terlebih lagi lampu kelap-kelip
karena di desaku ini tidak ada listrik.
Seingatku, di gereja juga sedang menghias
pohon Natal besar dengan pernak-perniknya. Tapi, tidak mungkin jika aku
menggunakannya untuk pohon Natal buatanku ini. Sepertinya aku harus pergi kota
dan membelinya sendiri. Namun, bagaimana caraku ke sana?
“Mahesa anakku.” Panggilan ibu dari
dalam rumah menyentak tubuhku yang sedang berbaring di atas hammock, menatap
rimbunnya pepohonan di sekelilingku. Aku pun turun dan membalas panggilan ibu.
“Iya, ada apa, Bu?”
“Kemarilah, Nak. Ayahmu membawa
sesuatu untukmu.”
Sepertinya ayah akan memberikan
kejutan. Daripada penasaran, aku pun masuk ke dalam rumah. Kudapati ayah dan
ibu duduk lesehan di lantai. Di antara mereka terdapat sebuah kardus lumayan
besar. Aku tidak tahu apa isinya.
“Itu apa, Yah?” tanyaku. Aku ikut
duduk sambil menunjuk kardus lumayan besar itu. Alih-alih menjawab pertanyaanku,
ayah menyodorkan kardus itu padaku. Sudut bibirnya membentuk senyuman.
“Bukalah,” pintanya. Lantas aku pun
membuka kardus tersebut, penasaran dengan isi dari dalam kardus ini. Kedua
mataku seakan-akan berbinar cerah melihat isi dari kardus ini. Bibirku
mengerucut, merasa takjub dengan isi kardus ini. Ayah tahu saja apa yang sedang
kubutuhkan.
“Semua barang dalam kardus itu pasti
sedang kamu butuhkan,” ujarnya.
“Dari mana Ayah mendapatkan semua
barang ini?” Aku mencoba memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Semua
barang di kardus ini yang sedang kubutuhkan untuk menyempurnakan pohon Natal
buatanku. Bola-bola kaca berwarna-warni, manik-manik, pernak-pernik Sinterklas,
bintang, bahkan lampu kelap-kelip dengan macam warna. Aku tidak menyangka ayah
bisa mendapatkan semua ini.
“Semua itu Ayah dapatkan dari Tuan
Airlangga,” kata ayah. Aku mengernyitkan dahi.
“Dari Tuan Airlangga?”
Ayah mengangguk. “Tuan Airlangga
tahu kalau kamu sedang membuat pohon Natal untuk ulang tahun putrinya. Paman
Arius yang memberitahunya. Jadilah beliau mengajakku pergi ke kota untuk
membeli semua ini, karena di desa kita tidak memiliki semua barang itu.”
“Jadi, Tuan Airlangga tahu kalau aku
sedang membuat pohon Natal? Kalau begitu, putrinya juga tahu aku sedang membuat
itu?”
“Tidak, anakku.” Ayah menggeleng. “Untungnya
Tuan Airlangga tidak memberitahu kepada putrinya. Sampai sekarang dia masih
belum mengetahui apa yang sedang kamu buat untuk hari ulang tahunnya.”
“Syukurlah....” Kuhembuskan napas
panjang seraya mengelus perlahan dadaku sendiri. Sempat aku terkejut karena
bisa saja Maria tahu hadiah yang sedang kubuat, tapi aku lega setidaknya dia
belum mengetahui hal ini.
“Hari Natal sebentar lagi tiba,
Mahesa.” Ibu bangkit berdiri menghampiriku. Kemudian mengusap perlahan puncak
kepalaku. “Gunakan semua barang ini sebaik mungkin. Dan lekaslah memberikannya
pada gadismu itu.”
Ucapan ibu sedikit membuatku
tertawa. Benar yang ibu ucapkan, aku harus segera menyempurnakan pohon Natalku,
lalu memberikannya kepada Maria tepat di hari Natal. Tanpa tedeng aling, aku
pun membawa semua barang pemberian ayah barusan, membawanya ke gubuk Paman
Arius dan berniat menyelesaikan pohon Natalku.
****
Gubuk pahat
Paman Arius tampak sangat berantakan hari ini. Berbagai barang hadiah pemberian
ayahku tadi pagi berserakan di lantai. Tara dan Gara membantu membuat sebuah
gua kecil yang terbuat dari kertas semen. Paman Arius sibuk meremas kertas
semen menjadi gumpalan-gumpalan kecil, kemudian menyemprotnya dengan cat hitam.
Sedangkan aku sendiri dibantu dengan Ratu, memasang pernak-pernik pemberian
ayahku tadi pagi ke pohon Natal buatanku ini.
Kalau melihat hasilnya sejauh ini,
aku yakin pohon Natalku akan selesai tepat tiga hari sebelum hari Natal tiba.
Rasanya aku ingin cepat-cepat menyelesaikannya agar aku bisa memberikannya
kepada Maria.
“Hei, Mahesa. Bisakah kamu pasang
bintang ini ke puncak pohon Natalnya? Aku tidak sampai.” Pergelangan tangan
Ratu yang memegang ornamen bintang terjulur ke atas. Kedua kakinya menjinjit,
berusaha untuk menaruh bintang pada puncak pohon, tapi tak sampai.
“Padahal tinggimu tidak terlalu jauh
denganku, tapi mencapai puncuk saja tidak sampai,” kataku, sedikit tertawa.
Kuambil ornamen bintang dari tangannya dan memasangkannya pada puncak pohon
dengan mudah. “Nah, gampang sekali, kan.”
Cubitan darinya pada perut membuatku
mengaduh sakit. Cubitannya terasa agak keras. Ratu mengerucutkan bibir. “Jelas
gampang, lah, kamu kan lebih tinggi daripada aku.”
“Iya, tapi tinggiku kalah dari
Maria.”
Ratu sedikit tertawa seraya
menepuk-nepuk lengan kiriku. “Oh ya, ngomong-ngomong soal Maria, apa dia tahu
apa yang sedang kamu buat ini?” tanyanya. Kedua matanya memandang lekat padaku.
“Tidak,” jawabku. Bukan bermaksud
membuat Maria penasaran, aku ingin membuatnya terkejut dengan hasil karyaku di
hari Natal sekaligus hari ulang tahunnya. Dengan cara seperti itu mungkin saja
dia menjadi terkesan.
“Bagus kalau begitu.” Ratu bertepuk
tangan dengan riang. “Dengan begitu, Maria pasti akan merasa tersanjung
padamu.”
“Ya, semoga saja.”
Tak ada percakapan lagi setelahnya.
Aku dan Ratu sama-sama terdiam, memandangi pohon Natal yang sudah kami hias.
Tak kuhiraukan pekerjaan yang sedang dilakukan kedua temanku dan Paman Arius di
belakang sana. Pandanganku hanya tertuju pada pohon Natal di depanku.
Benar-benar cantik.
Terhitung seminggu lagi hari Natal
akan tiba. Desaku pasti akan ramai dipenuhi warga yang bersama-sama
merayakannya. Di momen itu pula aku akan mengungkapkan semua perasaan yang
tersimpan dalam diriku kepada Maria. Tapi, hingga sekarang aku masih ragu melakukannya.
Aku takut dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku.
Pandanganku terus tertuju pada pohon
Natal. Sedikit demi sedikit pikiranku melanglang buana, berputar mengelilingi
porosnya seperti komidi putar. Mendadak aku tak bisa berpikir jernih dan larut
dalam sebuah dilema yang terus menghanyutkanku. Hanya satu pertanyaan yang
kupikirkan, apakah aku bisa mengungkapkannya? Dan, itu malah menimbulkan
opsi-opsi berbeda yang membuatku semakin jatuh ke dalam dilema.
Aku sempat menanyakan kepada
temanku, si Yang-Punya-Kuasa saat
menuliskan kisah ini, tapi dia berpendapat bahwa aku harus menentukannya
sendiri. Padahal dialah yang memiliki kuasa di kisah ini, tapi sedikit memberi
kebebasan padaku. Justru kebebasan yang seperti ini malah membuatku semakin
pusing dibuatnya. Memang dasar! Kalau
saja dia bukan temanku, sudah aku sesatkan ia di hutan dan diterkam macan
tutul.
“Hei, Mahesa.” Suara Ratu yang
terkesan lembut namun sedikit tegas, membawaku kembali menuju kesadaran.
Ditatapnya aku dengan sebelah alis terangkat, seperti sedang melihat seorang
yang tak dikenalnya. “Kenapa melamun?”
Kugelengkan kepala. “Tidak. Hanya
memikirkan satu hal saja.”
Ditatapnya aku sekali lagi, namun
disertai senyum manisnya. “Jangan terlalu banyak mikir, nanti kamu bisa sakit.”
Ratu menyodorkan aku sebotol air. “Mendingan kamu cari udara segar di sekitaran
kebun teh, biar pikiranmu segar kembali. Biar sisa karyamu saat ini aku dengan
yang lain yang menyelesaikannya. Hanya tinggal mencari sumber listriknya saja.”
Kuhela napas panjang. Benar juga
yang dikatakan Ratu, rasanya aku butuh udara segar untuk menjernihkan isi
kepalaku. Mungkin saja dengan begitu aku bisa mudah menentukan pilihan tentang
perasaanku ini.
“Kamu benar juga, Ratu. Kalau begitu
aku mau cari udara segar dulu.” Botol air pemberian Ratu tersebut aku ambil.
Lalu, melangkah keluar gubuk membiarkan Tara, Gara, dan Paman Arius berkutat
dengan pekerjaannya masing-masing. Bisa kurasakan Ratu seolah-olah tersenyum
padaku saat berbelok meninggalkan gubuk.
Kubawa langkah kaki ini lamat-lamat
menyusuri jalan setapak perkebunan teh. Hawa segar nan menyejukkan kuhirup
dalam-dalam masuk ke rongga paru-paru. Kendati matahari membumbung tinggi di
atas langit, justru di tempat ini terasa sangat nyaman dengan hawa dingin
menyejukkan. Aku bersyukur bisa lahir dan tinggal di desa dengan vegetasi
pegunungan yang masih asri.
Hamparan kebun teh yang hijau membuat
perasaanku jadi sedikit tenang. Sesekali kupetik setangkai pucuk daun teh dan
kuhirup aromanya, meski daunnya tidak menimbulkan aroma apapun karena belum
diolah. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak kebun teh tanpa tujuan
hendak ke arah mana. Yang terbesit di pikiranku saat ini hanyalah menenangkan
diri dari dilema yang kualami seiring langkah kaki yang lamat-lamat ini.
Aku berhenti di salah satu blok
kebun teh hanya untuk melihat sebuah pelataran di tengah kebun teh. Ada
seseorang di dalamnya, duduk di bawah atapnya yang berbentuk seperti topi
sombrero. Dia seorang gadis cantik dengan rambut panjang sebahunya. Gadis yang
sudah membuatku dilema seperti ini. Aku tidak menyangka dia berdiam di sini
seorang diri. Bukan bermaksud menuduh dia adalah seorang introvert, tapi dia memang sering berjalan-jalan sendiri menyusuri
tempat ini, hanya saja baru kali ini aku melihatnya diam sendiri di sini. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu,
entahlah. Begitu pikirku.
Sedikit membuatku penasaran, maka
aku pun mencoba mendekatinya. Berjalan mengendap-endap, berusaha untuk tak
membuat suara sekecil pun saat mendekatinya. Dia masih berdiam diri
membelakangiku. Ternyata dia menggunakan gaun yang sama saat aku mengajaknya ke
rumah pohon, hanya saja motif gaunnya berbeda kali ini, motif bunga mawar.
Kedua tanganku merentang ke depan seiring langkah kakiku semakin dekat. Saat
kedua tanganku hendak menggapai pundaknya, detik kemudian tubuhku terhentak ke
belakang. Maria sudah terlebih dahulu mengagetkanku. Dia terbahak melihatku
sudah terjengkang ke atas tanah.
“Aku sudah tahu kamu akan datang dan
mengagetkanku, Mahesa.” Maria masih tertawa. Kemudian, tangannya menjulur ke
depan membantuku berdiri. Aku hanya memasang wajah datar.
“Kalau tahu kamu akan seperti tadi, aku
tidak akan mengagetkanmu.”
“Kamu juga sih, yang mau isengin
aku. Salah sendiri,” ucapnya, menjulurkan lidah dan kemudian tersenyum. “Tumben
siang begini kamu di sini, biasanya kan di gubuk Paman Arius?”
“Hanya iseng saja mencari udara
segar,” jawabku. Mataku menyipit menatap gadis di depanku. “Kamu sendiri kenapa
diam sendiri di sini?”
“Kalau misal alasannya sama
denganmu, bagaimana?” Sebelah alisnya terangkat.
Kugaruk tengkukku yang tidak gatal.
“Maksudnya?”
Detik berikutnya Maria tersenyum, menampakkan
senyum bulan sabit di matanya. Alih-alih, dia memegang pergelangan tanganku.
“Iya, alasanku berdiam diri di sini itu sama denganmu. Sekadar mencari udara
segar.” Maria menarikku menuju pelataran yang baru saja ia singgahi. Dia duduk
pada salah satu bangku panjang dan aku ikut duduk di sebelahnya. Pandangannya
menatap hamparan kebun teh di depan sana tanpa menghilangkan senyum bulan
sabitnya. “Sebenarnya, ada hal lain yang membuatku berdiam diri di sini
sendirian. Tapi, kamu di sini, jadinya aku tidak sendiran lagi.”
“Kalau boleh tahu, hal apa itu?”
tanyaku, bersipandang dengannya. Senyumnya masih mengembang di bibirnya.
Ada keheningan sejenak tercipta di
antara kami. Detik berikutnya dia mulai berucap, “Sebentar lagi hari Natal, aku
tidak sabar menunggu waktu itu tiba.” Maria menolehkan kepala ke arahku dengan
guritan senyum masih terpancar di bibirnya. “Kamu waktu itu berjanji padaku
kalau kamu akan membuatkanku satu karya dan akan kamu berikan padaku di Natal
nanti. Sampai sekarang aku penasaran karya apa yang kamu buat. Bolehkah kamu
memberitahukan kepadaku?”
Aku memang pernah berjanji padanya
akan membuat suatu karya untuknya di hari Natal nanti. Kalian para pembaca
sudah tahu membuat karya apa untuknya, aku sudah memberitahukannya kepada kalian
sebelumnya bukan, tapi tidak dengan Maria. Sudah aku bilang sebelumnya, aku
tidak bermaksud membuatnya penasaran, melainkan membuat kejutan untuknya. Dan
sekarang, dia menanyakannya kembali.
“Bukan kejutan namanya jika aku
memberitahukannya lebih dulu, Maria,” kataku, bersipandang dengannya yang
menampakkan mata bulan sabitnya. Raut wajahnya berubah, membentuk kerutan kecil
pada dahi.
“Jadi itu kejutan buatku?” Kujawab
dengan anggukan mantap. “Tapi, tidak apa-apa kan kalau kamu memberitahukannya
sekarang?”
Sudut bibirku tertarik membentuk
senyuman, lantas menggeleng pelan. “Tunggulah sampai Natal tiba.”
“Ish...” Maria mencebik, kembali
melabuhkan pandangan ke hamparan kebun teh. Sepasang tangannya terlipat di
depan dada, membiarkan hembusan angin menerpa rambutnya. Wajah putihnya itu
selalu membikin jantung berdegup cepat.
“Mahesa,” dipanggilnya aku, lantas
menoleh padanya. “Jika aku diberi kesempatan lebih banyak, aku ingin tinggal
lebih lama di desamu. Banyak hal di sini menjadi pelajaran buatku yang tidak
kutemukan di kota. Sebelumnya di kota tempatku berasal, semua yang aku inginkan
bisa aku dapatkan dengan mudah, tinggal minta langsung dikasih. Tapi di sini,
semua hal yang aku ingin harus aku dapatkan sendiri. Desamu membuatku semakin
mandiri.”
Kucerna baik-baik maksud perkataan
Maria. Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba berkata seperti itu. Dari
perkataannya barusan, seperti ada maksud terselubung yang sedang ia
sembunyikan. Mungkinkah yang sempat dikatakan ayahku sebulan lalu itu benar?
“Aku ingin belajar lebih banyak lagi
di desamu, kalau bisa kamu yang menjadi tour
guide-nya saat mengenal desa dan sekitarnya lebih dalam lagi,” Maria
melanjutkan perkataannya. “Tapi, ada proyek sangat besar didapatkan Papa di
kota. Proyeknya tersebut mengharuskan kami untuk kembali tinggal di kota.
Meskipun agak berat, mau tidak mau kami harus kembali ke kota.” Helaan napas
panjang keluar dari mulutnya. Dia bersipandang denganku, mengukir seutas senyum
kecil, namun ada setitik kesedihan di pancaran matanya. “Setelah perayaan Natal
di sini, aku tidak bisa bertemu denganmu lagi, Mahesa.”
Aku terdiam. Benar yang ayah ucapkan
waktu itu, gadis yang kusukai akan pergi meninggalkan desa. Jujur saja aku
merasakan perasaan yang begitu menyakitkan dada. Meski aku sudah tahu hal ini
akan terjadi, tapi rasa sakitnya begitu sesak. Aku sudah mengantisipasi hal
ini, tapi tetap saja rasa itu semakin kuat, terlebih lagi kedua mata Maria
berbinar basah menahan air mata yang hendak keluar.
“Kalau memang seperti itu jadinya, mungkinkah
kita akan bertemu lagi?” Pertanyaanku barusan membuat raut wajahnya semakin
mengerut. Dia mengalihkan pandangannya dariku, kembali menatap hamparan kebun
teh.
“Aku tidak bisa memastikannya,
Mahesa.” Dia pun menjawab. “Kalau Tuhan berkehendak mempertemukan kita, ya...
kita akan bertemu kembali. Kalau tidak, aku hanya bisa minta maaf padamu.”
Sejauh ini hanya Maria yang berhasil
membuatku sangat jatuh hati padanya. Dia seperti malaikat yang dititipkan Tuhan
padaku. Entah mengapa aku tak bisa menolak itu, bahkan aku bersikeras ingin
menjaganya. Sekarang dia akan pergi, tapi aku tidak bisa menahannya, meski
sudah kucoba. Bibir ini terasa sangat kelu, tak mampu membalas ucapannya itu.
Maria menghela napas panjang.
Digenggamnya tangan kiriku, memijat perlahan pada punggung telapak tanganku.
“Mahesa, kamu jangan khawatir,” ucapnya, “kita masih punya waktu bersama. Kamu
ajak aku menjelajah ke tempat lain lagi di sini. Aku ingin tahu semua tentang
desamu.”
Kedua mataku bersipandang dengannya.
Tak kutemukan titik kesedihan terpancar di balik matanya. Selain itu,
perasaanku perlahan-lahan menjadi tenang seiring genggamannya pada tanganku
semakin erat.
“Sebelum nanti kamu pergi
meninggalkan desa, aku ingin membuat lukisan dirimu sebagai kenang-kenangan.
Bolehkah?”
“Tentu saja!” Maria mengangguk
semangat, sangat antusias.
“Aku ingin melukismu di sini, saat
ini juga.” Genggaman tangannya kulepas. Berdiri di sampingnya dan tersenyum
tipis. “Kamu tunggu dulu di sini, ya. Aku mau ambil peralatannya di rumah.”
“Iya, jangan lama-lama.”
Tanpa berlama-lama, aku pun berlari
meninggalkan Maria yang masih duduk di pelataran. Berlari menuju rumah yang
jaraknya lumayan dekat dengan perkebunan teh. Lantas, mengambil beberapa
peralatan lukisku, kemudian kembali ke pelataran kebun teh tempat Maria
menungguku. Dia masih tenang duduk dengan anggunnya. Aku pun menghampirinya.
“Kamu sudah siap?” tanyaku sambil
mempersiapkan cat-cat lukis, kuas, dan kanvas.
“Kapan pun kamu mau,” jawabnya. Dia
menggelung rambut sebahunya ke atas, mengikatnya dengan seutas karet tipis. Dia
berdiri menghadap ke arahku. Gaun ungu dengan motif bunga-bunga sebatas
lututnya menjuntai ke bawah. Terlihat sangat cantik, terlebih lagi dia mengikat
rambutnya.
Aku pun mulai membuat coretan di
atas kanvas menggunakan kuasku. Coretan demi coretan yang membentuk suatu pola.
Kemudian pola itu kukembangkan menjadi gambar rupa manusia, rupa gadis cantik
di depanku ini. Maria Genoveva Natalia Desy Purnamasari Gunawan.

Dua puluh menit berlalu, lukisan buatanku akhirnya selesai. Aku langsung memperlihatkannya kepada Maria. Dia sangat antusias dan senang melihat lukisanku. Senyumnya terus mengembang lebar melihat lukisanku ini benar-benar menyerupai dirinya. Aku senang bisa melihat dia sesenang ini.
“Lukisannya bagus banget, Mahesa.”
Aku tertawa pendek. “Simpan
baik-baik lukisannya, Maria, kalau seandainya kita tidak bisa bertemu lagi.”
“Kalau misalnya kita dipertemukan
kembali, berarti lukisanmu ini aku buang, dong.”
“Ya jangan dibuang. Sia-sia dong aku
bikin.”
Maria terbahak keras, mungkin itu
karena dia merasa sangat senang mendapat lukisan dariku. Ditaruhnya lukisan itu
di atas bangku panjang, duduk sambil mencoba melepas ikatan karet pada
rambutnya. Tanganku serentak menahan tangannya. Entah mengapa aku melakukan itu
tiba-tiba, sepertinya alam bawah sadarku yang menuntunku. Pandangan kami saling
bersipandang satu sama lain.
“Kamu lebih cantik kalau rambutmu
diikat seperti itu, Maria.” Kalimat itu lolos begitu saja dari mulutku tanpa
seizinku. Kulihat Maria hanya memandangku dalam diam. Pipinya yang putih
berangsur-angsur kemerahan, mungkin dia merasa sedikit tersanjung dengan yang
baru aku ucapkan.
“T-terima kasih...” ucapnya
terbata-bata.
Kuposisikan diri duduk di
sampingnya. Tanganku terlepas dari tangannya, membiarkan tangannya mendarat
perlahan ke atas paha. Kepalanya tertunduk berusaha menutupi rona merah pada
pipinya. Bibirnya mengatup rapat seperti sedang menahan terbentuknya senyuman.
Mendadak perasaanku jadi tak karuan melihatnya.
Langit yang tadinya sebiru lautan,
kini digantikan langit jingga menenangkan dengan sang mentari bersembunyi di
balik gumpalan awan. Cukup lama aku berada di sini bersama gadis yang sangat
kusukai. Sempat aku berkata pada sendiri bahwa aku ingin bersama dengannya di sini
sedikit lebih lama lagi, namun bila ada kesempatan. Meski pada akhirnya dia
akan pergi, nyatanya waktu masih memberiku kesempatan. Setidaknya hingga hari Natal
tiba.
Pandanganku menengadah ke atas
langit jingga, melihat gumpalan-gumapalan awan bergerak diterpa angin,
dipadukan dengan cahaya jingga yang membuat senja kali ini terasa indah. Kedua
tanganku bertumpu pada bangku panjang yang kududuki bersama Maria. Sejemput
kemudian, kurasakan sentuhan kecil mendarat pada punggung tangan kiriku. Maria
menyentuh tanganku. Praktis, aku menoleh ke arahnya dan mendapati ia tersenyum,
meski pandangannya menatap ke depan.
Sentuhannya semakin terasa pada
tangan kiriku, bahkan terasa semakin intens. Tangan kiriku bergerak, mencoba
membalas sentuhannya itu. Dia membiarkannya. Alhasil, tanganku menggenggam erat
tangannya. Kulihat bibirnya membentuk senyum lebar. Praktis, aku pun ikut
tersenyum.
“Mahesa.” Dipanggilnya aku
tiba-tiba. “Bawa aku ke tempat waktu itu lagi. Aku ingin melihatnya sekali
lagi.”
Aku menoleh. Sebelah alisku
terangkat skeptis. “Kemana memangnya?”
“Curug Malaikat.”
“Kamu yakin? Ini sudah senja,
Maria.”
Dia mengangguk mantap. Lantas
memalingkan wajahnya padaku sambil menunjukkan senyum bulan sabit yang
membuatku tak kuasa melihatnya. Jika sudah begini, aku hanya bisa menuruti
kemauannya. Tapi setidaknya aku bisa bersama dengannya, saat ini.
Kuajak ia menuju Curug Malaikat yang
dulu sempat kami kunjungi. Tangan kami saling berpegangan selama perjalanan
tanpa melepasnya. Seperti sepasang kekasih. Langit jingga pun mendukung saat
langkah kaki terhenti di area curug yang sarat akan dongeng tentang seorang
malaikat. Maria melangkah mendekati curug tersebut tanpa melepas pegangan yang
masih menempel pada tanganku. Embun-embun air dari curug itu beterbangan hingga
mengenai pakaian yang kami kenakan. Dia masuk ke dalam kolam air curug, meski
percikan-percikan air mulai membasahi gaun selututnya.
“Aku ingin merasakan bagaimana
rasanya berada tepat di bawah curug itu. Selama kamu mengajakku ke sini, aku
belum pernah merasakannya,” ucapnya. Dia menarik tanganku semakin mendekati
curug. “Ayo, Mahesa.”
“Nanti kamu kedinginan, Maria.” Aku
berusaha mencegahnya. Tapi dia tetap bersikukuh. Tanganku semakin ditarik
olehnya.
“Hanya sekali ini saja. Aku mohon.”
Kerlingan mata memohonnya terpancar.
Wajahnya sedikit ditekuk. Bibirnya mengerucut seperti bebek. Dia benar-benar
membuatku tak bisa berbuat banyak, bahkan hanya dengan senyum bulan sabitnya
saja sudah membuatku bertekuk lutut. Entah mengapa Sang Pencipta bisa
menciptakan gadis seperti dia. Maka, aku pun pasrah mengikuti ajakan Maria yang
terus berjalan menuju curug.
Deras air yang mengalir dari Curug
Malaikat ini menghujam tubuhku dan Maria. Saling berhadapan satu sama lain
tanpa melepas genggaman tangan. Tubuh basah kuyup diterjang air, ditambah hawa
dingin mulai menusuk kulit. Meski demikian, aku tidak merasa khawatir akan
kondisi gadis di depanku. Dia tertawa riang merasakan air yang terus menghujam
tubuhnya. Dia sangat senang karena ini merupakan kali pertama baginya.
“Aku tidak menyangka ternyata seru
juga berada di bawah sini,” katanya, sedikit berteriak di tengah hujaman deras
air terjun. “Aku ingin merasakannya lebih lama.”
“Tapi, nanti kamu bisa sakit,
Maria,” sanggahku.
“Asalkan ada kamu, aku rela sakit
saat ini juga.”
Ada seutas senyum di bibirnya.
Genggaman tangannya terasa semakin erat. Ucapannya tadi sedikit membuatku
terdiam sejenak. Mungkinkah ini?
Maria kembali tertawa riang
merasakan hujaman air jatuh mengenai seluruh tubuhnya. Dengan air sebanyak itu
yang jatuh menghujam tubuh, pasti akan terasa agak sakit. Tapi, aku sama sekali
tidak melihat ekpresi kesakitan yang ditampakkan Maria, malahan dia sangat
menikmati.
“Aku mau mencoba merasakannya lebih
ke tengah lagi.” Dia menggenggam tanganku erat. “Pegang aku kuat-kuat, ya.”
Kuturuti kemaunnya. Dia sedikit
melangkah semakin mendekati tengah air terjun. Namun, sedetik kemudian tubuhnya
terhuyung ke arah samping. Sigap, aku segera menariknya mendekat, tapi
terlambat. Alih-alih menariknya, tubuhku malah terhuyung ke depan akibat kakiku
salah mengambil pijakan pada batu yang licin. Tubuh kami pun masuk ke dalam
air. Kemudian menengadah keluar dari air sekadar mengambil napas. Napasku
sedikit terengah, begitupun ia.
Maria tertawa. “Aku kira bakal
tenggelam, ternyata kolam air terjunnya tidak terlalu dalam.”
Aku mengatur napas sejenak seraya
mendekat padanya. Keningnya yang tak tertutup poni menjadi sasaran sentilan
jariku, membuat ia mengaduh sakit. “Hati-hati dalam melangkah, Maria. Kalau
sampai terjadi apa-apa denganmu bagaimana?” Ya, kejadian barusan sudah
membuatku sedikit khawatir.
Lagi-lagi senyum bulan sabitnya
ditujukan padaku. Sial! Di situasi
seperti ini dia masih saja bisa membuatku tak berkutik.
“Kamu mengkhawatirkanku, ya?”
tanyanya, sebelah tangannya mengusap lembut pipiku. Senyum semakin mengembang
di bibirnya. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
Aku terdiam tak menanggapi ucapannya
barusan. Kedua mata saling besitatap dengannya, melihat mata indahnya seperti
menampakkan langit biru yang menenangkan. Tak kuhiraukan hawa dingin dari hutan
dan air terjun menusuk kulit. Fokusku hanya tertuju pada gadis di depanku. Dia
seperti malaikat di dongeng Curug Malaikat yang tempo lalu kuceritakan padanya.
Dia yang sudah meluluhkan hati ini sejak kali pertama ia menginjakkan kaki di
desaku. Dia yang... ah, aku tidak tahu bagaimana mendeskrepsikannya lagi.
Tatapanku masih melekat padanya.
Begitu intens, tenang, dan hangat. Entah sejak kapan kedua tanganku sudah
melingkar pada pinggang gadis cantikku ini. Dia pun sama, melingkarkan kedua
tangannya pada belakang leherku. Aku merasa semakin dekat dengannya. Hembusan
napasnya sedikit memburu di tengah hawa dingin menusuk kulit. Ditambah lagi
tubuh basah kuyup yang masih berada di dalam kolam air terjun.
“Kalau Tuhan memberi kesempatan
kedua, aku ingin menghabiskan waktu bersama denganmu lagi. Selalu, setiap
saat.” Kalimat itu lolos begitu saja dari mulutku.
“Aku juga,” dia membalas. Seutas
senyum mengembang di bibirnya. Tanganku yang melingkar di pinggangnya kutarik
perlahan hingga tubuhnya menghimpit tubuhku. Lingkar tangannya pada belakang leherku
semakin erat dan bisa kurasakan hembusan napasnya memburu. Bibirnya bergerak
hendak mengucapkan kata. “Stay with me,
sweet heart. You and I.”
Tanpa diminta, dengan gerakan
perlahan, bibir kami saling berkelindan. Sangat intens dan hangat. Tak
berselang lama, berpagutan satu sama lain. Meski hawa dingin semakin menusuk
kulit, aku tak menghiraukannya. Aku bagaikan gula dalam air yang larut dengan
adukan perlahan. Saling memeluk satu sama lain ditemani dinginnya air dan senja
yang semakin meredup. Persetan dengan hawa dingin datang silih berganti, dan
waktu yang kian memburu. Aku takluk oleh perdaya dara jelitaku ini. Aku tidak
akan bisa melupakan momen-momen saat bersamanya. Aku tidak akan bisa melupakannya.
Untuk kesekian kali.
[POHON NATAL UNTUK DESY]
Kalau saja
suasana hatiku tidak sesenang ini karena akhirnya patung pahat buatanku akan
dibeli orang kota, mungkin saja hantaman bambu kecil sudah mendarat di kepala
temanku, si Yang-Punya-Kuasa kisah
ini.
Bukan tanpa alasan aku ingin
melakukan itu. Berawal dari perdebatan kecil saat aku sedang menulis kisah ini.
Temanku berkomentar tentang jalan cerita si tokoh utama yang terburu-buru menyatakan
perasaannya pada si gadis. Padahal, temanku berpendapat kalau bagian ini
ditulis nanti saja. Nasi sudah menjadi bubur. Tinta yang sudah tertuang ke atas
kertas tak akan bisa terhapus.
Aku berdalih, membela diri dari
opini tak bersyaratnya, padahal aku tidak terang-terangan menuliskan si tokoh
utama menyatakan perasaannya, malah aku menyiratkan hal itu dalam satu adegan.
Sialnya, itu malah memicu perdebatan di antara kami berdua. Cobalah baca teliti
lagi! Jangan salahkan aku! Aku hanya berusaha membantumu.
Untung saja perdebatan sepele ini
tidak sampai berlarut-larut. Temanku akhirnya membiarkan hal itu dan memintaku
melanjutkan lagi kisah ini. Sebenarnya tanganku sudah lelah menulis sampai
sejauh ini, tapi berhubung sudah banyak kata yang kutulis sekaligus
arahan-arahan darinya, maka kulanjutkan saja.
Kembali ke cerita!
Pertama kali kurasakan dalam
hidupku. Aku seperti berada di hamparan padang bunga dengan aroma harumnya
menyeruak udara, ditambah lagi itu semua malah membuat mabuk kepayang. Mungkin
terkesan berlebihan untuk diungkapkan, tapi setiap manusia pasti merasakan hal
itu, apalagi jika baru mendapatkan si pujaan hati. Munafik jika kalian tidak
merasakannya.
Masih segar dalam ingatanku meski
kejadiannya sudah lewat tiga hari. Di curug itu, rasanya seperti mimpi, pada
akhirnya Maria memiliki perasaan yang sama denganku. Sebenarnya ini
bertentangan dengan kemauanku sebelumnya, terlalu cepat dari yang kukira. Aku
berniat mengungkapkan ini tepat di hari ulang tahunnya sekaligus memberikan pohon
Natal yang sudah kubuat. Tapi terkadang, waktu dan situasi selalu tiba-tiba
menentang yang kumau. Meski demikian, aku bersyukur dengan apa yang kudapat
sekarang, walau pada akhirnya ia akan lepas dari genggaman sampai saat itu
tiba.
Sekarang lihatlah malaikatku di
depan sana, berdiri anggun dengan balutan gaun krem sebatas lutut di depan
misbar gereja. Bibirnya bergerak melantunkan masmur dari bait-bait lagu di buku
Puji Syukur. Anggota paduan suara mulai mengiringkan lagu sesaat Maria menyelesaikan
bait akhir masmurnya, dipadukan dengan iringan dirigen Bunda Lena pun menjadi
terdengar sangat indah dan menenangkan.
Tidak-tidak. Mereka tidak sedang
tampil dalam Misa Natal, mereka sedang melakukan latihan untuk acara misa
nanti, dan aku sekarang sedang menontonnya. Lagi pula hanya dalam hitungan
jari, Natal akan tiba.
Maria meninggalkan misbar, melangkah
lamat-lamat menuju barisan paduan suara. Kedua mata saling bersipandang, seutas
senyum terukir di bibirnya. Aku pun membalas. Ia terus membawa senyum itu
sampai bergabung kembali dengan anggota paduan suara. Tak henti-hentinya senyum
terukir di bibirku melihatnya bernyanyi. Hingga satu tepukan di pundak membuat
senyumku memudar. Lantas kutolehkan kepala ke arah kanan. Gara sudah duduk di
sebelahku.
“Persiapan sudah siap 90%, tinggal
mencari sisanya, nih.”
“Memang apa yang masih kurang?” tanyaku
setengah berbisik, tidak ingin membuat anggota paduan suara merasa terganggu.
“Tinggal listriknya saja, Mahesa,”
jawab Gara setengah berbisik.
“Bukannya kita sudah mendapatkannya
kemarin?”
“Itu dia!” Nada bicara Gara sedikit
meninggi, namun seketika kembali setengah berbisik. Dia menjentikkan jari di
depan wajahku. “Mesin pembangkit listrik yang kita pinta dari kota ternyata
tidak jadi dikirim karena ada kesalahan prosedur. Paman Arius sudah berusaha
untuk memintanya kembali, tapi tidak berhasil.” Gara menghela napas pendek.
“Apa yang selanjutnya kita lakukan?”
Kutopang sebelah tanganku pada dagu,
menengadah ke atas menatap langit-langit gereja, berusaha memikirkan langkah
apa yang harus kulakukan selanjutnya. Padahal, aku sudah merencanakan untuk
menggunakan listrik pada pohon Natalku, lebih tepatnya pada lampu
kelap-kelipnya. Aku meminta Paman Arius untuk mendapatkan mesin pembangkit
listrik dari kota, tapi nyatanya barang tersebut tidak berhasil didapatkan.
Kuhela napas pendek. Pandangan kulabuhkan sejenak kepada malaikatku yang masih
melantunkan lagu rohani bersama anggota paduan suaranya, lantas kembali
bersitatap dengan Gara.
“Aku tahu!” kataku, sedikit membuat
temanku ini tersentak.
“Bagaimana?” tanyanya, menyatukan
kedua alis.
“Ajak teman-teman yang lain di desa
kita. Masing-masing bawa satu buah toples. Kita bertemu di Leuweung Pikanyaah
malam ini.”
Gara mengernyit semakin dalam kedua
alisnya, tak mengerti maksud perintahku tadi. “Memangnya buat apa?”
Aku menyeringai. “Sudah, lakukan
saja.”
Meski kulihat raut kebingungan pada
wajahnya, Gara menyetujui perintahku tadi. Ia beranjak dari kursi melenggang
pergi, membuat rambut gondrongnya terombang-ambing saat berjalan. Kulihat ia
sejenak hingga tubuhnya hilang ditelan pintu. Kukembalikan pandanganku melihat
Maria yang masih bernyanyi. Dia terlihat sangat gembira, wajahnya berseri-seri
seperti malaikat. Tak henti-hentinya senyumku mengembang, lagi.
****
Tampaknya sesuai
dengan yang aku rencanakan. Teman-temanku di desa sudah berkumpul di Leuweung
Pikanyaah berkat ajakan Gara sesuai perintahku. Di tangan mereka sudah tersedia
toples. Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan di tempat ini, malam-malam
begini? Aku akan memberitahu jawabannya tetapi tidak sekarang, karena si Yang-Punya-Kuasa memintaku untuk
merahasiakannya lebih dulu.
Kutinggalkan mereka sejenak yang
sudah mulai melaksanakan tugas sesuai perintahku. Tanganku menggenggam erat tangan
Maria yang menatap heran teman-temanku, tak mengerti dengan yang sedang
dilakukan mereka. Aku menariknya perlahan, membawanya sedikit menjauh dari
kerumunan teman-temanku. Tangannya sedikit gemetar, menggigil merasakan angin
dingin menerpa. Sejak selesai latihan paduan suara tadi siang, gaun kremnya
masih ia kenakan. Terang saja ia kedinginan saat kuajak ia kemari.
Aku berhenti berjalan, sekadar
melepas jaket hoodie abu-abu yang kukenakan. Kusampirkan jaketku pada
pundaknya. Ia sedikit terkesiap, lantas menampakkan senyum bulan sabitnya.
“Aku tidak mau kamu kedinginan,”
kataku, kembali melangkah lebih jauh dari kerumunan.
“Aku tidak mengerti kenapa
teman-temanmu berkumpul di sini, membawa toples pula.” Ucapannya membuatku
terkekeh. Aku sengaja tidak memberitahukannya soal ini, biar saja itu menjadi
kejutan untuknya. Pandangan kami bertemu. Sebelah alisnya melipat ke atas.
“Mereka sedang melakukan apa, sih? Boleh aku ikut mereka agar aku tidak begitu
penasaran?”
Kembali aku terkekeh. Kugenggam
semakin erat tangannya, sedikit menariknya, dan melangkah agak cepat meski
kerumunan teman-temanku sudah tidak terlihat.
Aku tak menjawab pertanyaannya.
Alih-alih terus melangkah cepat tanpa melepas genggaman pada tangannya.
Kuhiraukan tatapan skeptis sekaligus gerutuan kecil darinya yang menohok diriku
sepanjang jalan. Sekali ini saja aku ingin sedikit membuatnya kesal, dan akan
kubayar dengan sesuatu yang belum pernah ia dapatkan.
Berbeda dari dua tempat sebelumnya
yang sudah kami kunjungi. Tidak ada jernihnya air Curug Malaikat, maupun
sejuknya hamparan hutan Leuwueng Pikanyaah, melainkan perbukitan yang letaknya
berada sedikit jauh dari Leuweung Pikanyaah—bahkan desa. Maria tak
henti-hentinya bercericit seperti seekor burung menanyakan hendak membawanya ke
mana. Aku terkekeh, melihatnya begitu penasaran.
“Kamu mau bawa aku kemana? Kok naik
ke perbukitan gini, sih?” tanyanya.
Aku menjawab, “Aku ingin menunjukkan
padamu tempat paling sakral di sini.”
“Tempat sakral?” Sebelah alisnya
melipat ke atas. “Pasti tempat angker, ya? Ah, aku tidak mau ke tempat itu...”
Maria melepas pegangan tangannya, berbalik badan hendak kembali pulang. Lantas
aku menarik kembali lengannya.
“Ini sudah larut malam, Maria, akan
sangat berbahaya jika kamu pulang sendirian.” Kutatap ia sejenak yang
menampakkan raut cemas di wajahnya. “Lagi pula kamu belum hafal betul
seluk-beluk tempat ini. Kalau tiba-tiba saja arwah penunggu hutan ini
menangkapmu bagaimana? Aku bisa sangat kesulitan mencarimu nanti.”
“Ishh...” Maria mendengus kesal,
wajahnya ditekuk masam, disertai bibirnya mengerucut seperti bebek. “Jangan
menakut-nakuti aku, ah!”
Sebelah alisku terangkat. Sudut
bibirku tertarik membentuk guritan senyum lebar. “Aku tidak sedang menakutimu.
Tapi sebenarnya, memang ada yang pernah diculik oleh makhluk tak kasat mata
itu.”
“Ishh...” Maria lagi-lagi mendengus
kesal. Ditariknya aku hendak kembali ke desa, padahal tempat yang akan kami
tuju ini sudah semakin dekat. “Ayo kita pulang..., aku tidak mau ke tempat itu.
Tempatnya pasti serem.”
Aku terbahak. Malaikatku satu ini
ternyata lucu juga. Aku kira dia bukan seorang gadis penakut yang takut akan
hal mistis, tapi nyatanya ia juga memiliki ketakutan seperti itu. Kutarik
sedikit keras lengannya mendekat padaku meski ia sempat menolak.
“Jangan takut, Maria,” kataku
lembut, mencoba menenangkan dirinya yang terlihat ketakutan. Kugenggam dan
kuelus perlahan punggung tangannya, lantas kukecup. “Tempatnya tidak
semenyeramkan dari yang kamu bayangkan. Kamu pasti akan suka.”
“Justru karena kamu bicara seperti
itu, aku jadi semakin takut.” Maria memberengut. Aku sedikit tertawa.
“Sudah, tenang saja,” kataku,
“tempatnya sudah dekat.”
Ada keraguan terpancar dari raut
wajahnya. Meski rasa takutnya masih menguasai dirinya, pada akhirnya ia
menganggukkan kepala, menerima ajakanku barusan. Maria tidak lagi memegang
tanganku. Tangannya melingkar erat lenganku seperti tidak ingin lepas dari
perlindunganku. Matanya sedikit sayu dan berair, menandakan ia masih begitu
takut. Itu justru malah membuatku gemas melihatnya.
“Tapi hanya sebentar saja, ya. Aku
takut.”
Aku mengangguk tersenyum seraya
mengelus lembut pucuk kepalanya. Lantas, melangkahkan kaki, melanjutkan
perjalanan ke tempat sakral yang sudah aku bilang sebelumnya.
Jika kalian menyangka perbukitan di
sini hanya dihiasi vegetasi ladang-ladang palawija, seperti tempat bernama
Caringin Tilu di Bandung—aku pernah sekali ke sana bersama temanku, si Yang-Punya-Kuasa—, kalian salah. Justru
tempat perbukitan yang sedang kupijaki bersama Maria ini sedikit menyerupai
Gunung Manglayang di Bandung. Kalian tidak akan bisa melihat panorama dari
puncak bukit ini karena banyak pohon rindang yang menghalangi. Namun, area di
puncak bukit ini lumayan luas, bahkan kalian bisa berkemah di sini.
Sepertinya tadi aku menyebutkan kata
“sakral” mengenai tempat yang kupijaki ini. Ya, tempat ini memang sakral untuk
didatangi, hanya di hari-hari tertentu saja biasanya warga desaku datang ke
tempat ini. Baik, aku akan memberitahukannya kepada kalian, tetapi sebelumnya
izinkan aku dulu untuk menenangkan malaikatku ini yang merinding takut.
“Mahesa..., tempatnya serem
banget.... Aku takut,” Maria merengek, kedua tangannya bergelayut pada lengan
kiriku. “Aku mau pulang saja, serem...”
“Kita baru sampai, Maria,” kataku,
berusaha meredakan rasa takutnya. “Ayo, tempatnya tidak menyeramkan seperti
yang kamu bayangkan.”
“Tapi di sini pohon-pohonnya
kelihatan serem. Terus udara di sekitar sini dingin banget.” Maria memeluk
tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya. Memang hawa di sini lebih dingin
dibanding di desa dan dua tempat yang kami kunjungi sebelumnya. Maria menatap
padaku, mengernyitkan dahi. “Aku heran sama kamu, kok kamu bisa tahan gini
padahal udaranya dingin banget. Aku jadi menggigil karenanya.”
Aku sedikit tertawa. “Di sini memang
hawanya lebih dingin dibanding tempat lain. Tadi sebelumnya aku bilang padamu
kalau tempat ini sangat sakral. Nah, karena kesastralannya maka tempat ini
terasa sangat dingin.”
Maria mengeratkan kedua tangannya
pada lenganku, bersipandang sejenak dan kulihat raut wajahnya masih dirundung
rasa takut. “Lalu, apa yang membuat tempat ini begitu sakral?”
“Aku akan menunjukkannya padamu.”
Lantas, kutarik perlahan lengannya
yang menggelayut pada lenganku, melangkah lamat-lamat menyusuri area puncak
bukit yang luas dengan deretan pohon rindang. Meski bisa kulihat Maria yang masih
merasa takut, pada akhirnya dia mencoba memberanikan diri. Langkah kaki terus
membawa kami hingga berhenti tepat di salah satu pohon rindang dengan cabangnya
yang sedikit. Malam ini terasa sangat cerah tanpa awan-awan yang menghiasi
langit. Cahaya bulan purnama memantulkan sinarnya menuju tempat yang baru saja
kupijaki.
“Nah, inilah yang membuat tempat ini
sangat sakral.” Jari telunjukku mengarah ke tanah di samping salah satu pohon
rindang itu. Terdapat satu buah makam berbentuk persegi panjang yang terbuat
dari bebatuan alam. Di tengah makam tersebut ditutupi tanah dengan satu tanaman
pandan kecil. Di satu sisi dari petak makam tersebut, satu gundukan batu alam
terpasang yang berfungsi sebagai nisan, dan ditulis dengan aksara sunda. “Ini
adalah makam leluhur kami. Seorang tetua adat yang menyatukan desa kami dalam
kebersamaan dan kekeluargaan sejak zaman Kerajaan Sunda.”
Kulihat Maria menatap nisan leluhur desaku
dengan raut wajah tak mengerti. Tangannya yang sedari tadi menggelayut pada
lenganku, berangsur-angsur melepasnya. Kurasa rasa takutnya sudah mulai mereda.
Dia menatapku penuh tanya. Sebagai pacar yang baik, kujawab rasa penasarannya.
“Menurut cerita para tetua adat
dulu, dahulunya desaku hidup dalam lingkup yang penuh konflik akibat pengaruh
dari sistem pemerintahan Kerajaan Sunda. Banyak orang membentuk beberapa kubu,
yang saling menghakimi, berselisih satu sama lain, bahkan tak segan saling berperang
hingga menimbulkan korban jiwa.” Aku memotong sejenak cerita yang sedang
kuceritakan. Lantas, menatap Maria yang penasaran menunggu kelanjutan ceritaku.
Rupanya dia sangat antusias. Aku menghela napas pendek. Sebelum melanjutkan,
aku bertanya padanya terlebih dahulu.
“Kamu tahu tidak seberapa luas ruang
lingkup kekuasaan Kerajaan Sunda pada tahun 932 hingga 1579 Masehi?”
Maria menggelengkan kepala. “Aku
tidak tahu, bahkan aku saja baru tahu ada Kerajaan Sunda pernah berjaya di
negeri ini. Memangnya seberapa luas ruang lingkup kekuasaannya?”
Tawaku sedikit tergelak. Kulihat
Maria mengernyit tak mengerti dengan yang kutertawakan. Kuhela napas pendek.
“Maria, sepertinya kamu harus mempelajari lagi pelajaran sejarah.” Sudut
bibirku membentuk seutas senyum. Ia mengerucutkan bibir seperti bebek. Lantas
aku mulai menjelaskan lagi, “Ruang lingkup kekuasaan Kerajaan Sunda pada masa
itu membentang dari bagian barat pulau Jawa (Banten, Jakarta, Jawa Barat)
sampai sebagian Jawa Tengah, bahkan pernah juga menguasai sebagian wilayah
pulau Sumatera bagian selatan.”
“Wah, banyak juga luas wilayahnya,”
takjub Maria. Kedua matanya membeliak seperti hendak keluar dari rongganya.
“Bagaimana bisa mereka menguasai wilayah sampai seluas itu? Pasti butuh
perjuangan untuk bisa menyatukan wilayah yang sebanyak itu.”
Aku mengangguk. “Untuk mencapai
tujuan yang sangat diinginkan butuh perjuangan dan kerja keras, Maria. Tidak
ada di dunia ini yang mendapatkan tujuannya secara instan, semua butuh
perjuangan.” Kuhela napas panjang. Pandanganku bersitatap dengan Maria di
sebelahku. Ia tampaknya masih penasaran dengan penjelasanku.
“Kerajaan Sunda hanya sebagian kecil
dari banyaknya kerajaan di Indonesia. Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit
lah yang mampu menyatukan Nusantara. Itu merupakan sumpahnya yang diberi nama
Sumpah Palapa.” Kuhentikan sejenak penjelasanku sekadar menghirup napas dalam.
Aku memosisikan duduk di samping makam leluhur tetua adat desaku, menyilangkan
kaki sambil sesekali menaburkan buliran tanah ke atas makam itu. Maria ikut
duduk di sampingku, ikut melakukan hal yang sama dengan yang aku lakukan.
“Patih Gajah Mada sangat hebat bisa
menyatukan Nusantara yang luas ini,” puji Maria. “Kalau saja beliau tidak
berhasil, mungkin negeri kita tidak akan pernah bisa bersatu.”
“Yup!
Kamu benar sekali, Maria. Tapi aku tidak akan menjelaskan tentang beliau, aku
hanya akan menjelaskan sebagian kecil wilayahnya saja, Kerajaan Sunda,” kataku
seraya menyunggingkan senyum. Maka, aku melanjutkan. “Wilayah-wilayah Kerajaan
Sunda didapatkan dengan cara menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya,
memperluasnya dan menjadikannya satu wilayah di bawah kekuasaan satu raja pada
masa itu. Kamu tahu selama memperluas kekuasaannya itu banyak yang harus
dikorbankan? Kalau dari cerita para tetua desa zaman dulu, banyak nyawa menjadi
korban saat Kerajaan Sunda memperluas wilayahnya. Itu mengakibatkan menyulutnya
perseturuan antar beberapa kelompok, termasuk di desaku ini.”
“Kejam sekali.” Maria mengatupkan
bibir menggunakan kedua tangannya. “Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?
Bagaimana caranya agar desamu ini bisa bersatu?”
“Nyai Andang, tetua adat desa kami
pada masa itu pergi menuju pantai selatan, memohon pada Kanjeng Ratu Kidul agar
memberikannya kekuatan untuk bisa merelai konflik yang menyulut desa kami,” aku
mulai menjelaskan. “Namun, segala permohonan yang dipinta pasti memiliki risiko
tersendiri. Sebagai imbalan telah meminta permohonan kepada Kanjeng Ratu Kidul,
Nyai Andang harus rela menyerahkan nyawanya kepada beliau setelah konflik di
desa kami selesai.”
Kedua mata Maria membeliak mendengar
penjelasan yang baru saja kuceritakan. Dia menatap padaku dengan tatapan penuh
tanda tanya. “Kenapa nyawa Nyai Andang dijadikan sebagai imbalannya, bukannya
itu sama saja dengan bunuh diri?”
Aku menghela napas sejenak. Buliran
tanah di telapak tangan kutaburkan di atas makam Nyai Andang, tetua adat desa
terdahulu.
“Itu sudah menjadi suatu keharusan,
Maria,” ucapku, menyunggingkan senyum padanya. “Ibaratnya jika kamu meminta
permohonan kepada seseorang, pada dasarnya pihak yang dimintai permohonan akan
meminta imbalan yang setimpal. Dalam kasus Nyai Andang, imbalan yang ditujukan
kepadanya sudah setimpal dengan permohonannya.”
Maria sedikit bergumam. Sebelah
alisnya terangkat skeptis. “Lalu, apa beliau mendapatkan kekuatan yang
diberikan Kanjeng Ratu? Apa beliau berhasil menghentikan konflik dan menyatukan
desa?”
Aku mengangguk. “Kekuatan yang
diberikan Kanjeng Ratu padanya terbilang cukup besar meski beliau hanya
memberikan secuil kekuatannya saja. Dengan itu semua, Nyai Andang kembali ke
desa, menghentikan konflik yang berkesudahan, lalu menyatukan desa dalam
kebersamaan dan kekeluargaan. Hingga akhirnya, dari generasi ke generasi, desa
kami terus berdiri sampai sekarang.”
“Setelah semua itu diraihnya, Nyai
Andang kembali lagi ke pantai selatan untuk menyerahkan nyawanya?” Maria tampak
menebak-nebak alur cerita yang sedang kuceritakan.
Aku mengangguk lagi. “Nyai Andang
kembali ke pantai selatan untuk menyerahkan nyawanya. Beliau wafat saat ombak
besar menerjang tubuhnya, mengempaskan tubuhnya ke batu karang tajam.” Aku
berhenti sejenak sekadar menaburkan kembali buliran tanah ke atas makam Nyai
Andang. “Namun, sebelum menjelang hari wafatnya, warga desa sudah mengetahui
apa yang akan dilakukan Nyai Andang. Beliau berpesan kepada warga desa untuk
saling menjaga satu sama lain dalam kekeluargaan, jangan sampai konflik itu
terjadi lagi. Kembangkan desa dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Manfaatkan alam dengan bijak. Tetap menghormati adat istiadat dan keyakinan
masing-masing.
“Setelah jasad Nyai Andang ditemukan
tersangkut di salah satu batu karang, warga desa berbondong-bondong membopong
jasadnya, membawanya kembali ke desa, dan melakukan upacara pesembahan terakhir
untuknya sebagai pahlawan yang telah menyatukan desa dalam harmoni
kekeluargaan. Dan, jasad beliau dimakamkan di sini, di tempat kita berada
sekarang.”
Maria memandangku lekat. Bola
matanya tampak berkaca-kaca saat sinar rembulan menerpa wajahnya. “Beliau ternyata
hebat. Aku salut dengan kegigihannya yang bisa menyatukan desa dalam
kekeluargaan. Aku tidak bisa membayangkan jika beliau tidak berhasil. Entah
bagaimana jadinya desa ini.”
Aku sedikit tertawa. “Aku saja tidak
sanggup membayangkannya, Maria. Kalau Nyai Andang tidak berhasil, tentu saja
aku tidak akan lahir ke dunia dan bertemu dengan malaikat cantik yang sudah
membuatku terpedaya.”
Satu pukulan kecil mendarat pada
lenganku. Maria tersenyum lebar yang menciptakan bentuk bulan sabit pada kedua
matanya. “Jangan berusaha menggombaliku, Mahesa.”
“Aku tidak sedang menggombalimu.
Memang akhirnya aku bertemu malaikat seperti dirimu.” Tanganku menggapai puncak
kepala malaikatku ini, mengelusnya perlahan. “Jangan salahkan aku, karena kamu
sendirilah yang sudah membuatku terpedaya.”
Cubitan tiba-tiba di hidungku
membuatku meringis menahan sakit. Gelak tawa Maria terdengar menggema ke
sekeliling pepohonan tempat ini. Dia menggoyang-goyangkan hidungku layaknya
sebuah mainan. “Udah, deh, lama-lama aku bisa kenyang denger gombalan kamu.
Kita pulang, yuk, malam semakin larut.”
Aku tidak tahu sudah berapa lama
kami berada di sini. Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menusuk
kulit. Dan, sepertinya teman-temanku yang saat ini di Leuweung Pikanyaah sudah
melakukan tugas yang sudah aku berikan. Mungkin sekarang mereka sudah kembali
ke desa. Aku pun harus segera bergegas kembali ke desa, terlebih dahulu
mengantarkan Maria ke rumahnya. Tapi sebelum itu, harus ada yang aku lakukan
sebelum pulang kembali.
“Kita berdoa dulu di sini, Maria,
mendoakan Nyai Andang yang mungkin sekarang sedang memperhatikan kita di atas
sana.”
Maria mengangguk. Lantas, kami
berlutut di sebelah makam Nyai Andang dan mulai memanjatkan doa.
[POHON NATAL
UNTUK DESY]
Sekarang,
hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari perayaan Natal di desa tampak
sedikit lebih ramai dibanding tahun lalu. Bukan hanya dihadiri oleh semua warga
desa, melainkan beberapa tamu yaitu kerabat Tuan Airlangga yang datang dari
kota sana juga ikut memeriahkan perayaan ini. Aku tidak habis pikir akhirnya
suasana desa jadi lebih ramai dari sebelum-sebelumnya.
Diawali dengan ibadat misa Natal di
gereja saat pagi hari, aku mengikuti rangkaian ibadat ini. Iringan lagu dari
paduan suara yang dipimpin Bunda Lena semakin melengkapi acara ini, terlebih
lagi aku bisa melihat Maria melantunkan mazmur di hadapan orang banyak di dalam
gereja ini. Tak henti-hentinya bibirku merekahkan senyuman.
Dua jam berlalu, ibadat misa Natal
pun telah selesai, namun acara belum berhenti sampai di situ saja. Anak-anak
kecil di desa ini berbondong-bondong ikut antusias dalam permainan kecil yang
dilakukan oleh Sinterklas dan beberapa temanku di sini. Kau tidak akan
menyangka kalau yang menjadi Sinterklas itu adalah Tara. Laki-laki itu memakai
pakaian santa serba merah dengan topi santa melekat di kepalanya, ditambah lagi
janggut putih yang terpasang di wajahnya, serta ia membawa sekarung berisikan
mainan dan makanan pada punggungnya. Aku tertawa melihat temanku itu bertingkah
pola seperti Sinterklas sungguhan, terlihat lucu sekali.
Dari banyaknya kerumunan orang yang
memadati area depan gereja, kulihat Maria juga ikut bermain dengan beberapa
anak kecil desa. Ia terlihat sangat bergembira, tak henti-hentinya senyum dan
tawa terus diperlihatkannya. Ia melihat ke arahku, merekahkan senyum manis.
Oh sial.... Senyumnya membuat
semburat bulan sabit pada kedua matanya. Jelas, aku terhenyak dibuatnya.
Maria melambai-lambaikan tangannya
padaku. Aku membalasnya seraya merekahkan senyum, lantas ia kembali bermain
dengan anak-anak, membiarkan aku duduk pada salah satu bangku di halaman
gereja.
“Kamu terlihat senang sekali setelah
resmi berpacaran dengan Maria ya, Mahesa.” Ratu datang tiba-tiba. Tanpa
seizinku, dia duduk bangku sebelahku, ikut menatap kerumunan anak yang sedang
bermain dengan Sinterklas.
“Bagaimana aku tidak senang karena
ini pertama kalinya aku mendapatkan kekasih, apalagi dia terlihat sangat
cantik,” kataku tanpa melepas kerumunan anak di depan sana.
“Kamu sekarang sudah berbeda dengan
dirimu yang dulu, Mahesa.” Ucapannya barusan membuatku menoleh pada Ratu. Gadis
ini tersenyum tipis seraya sedikit menyampirkan rambut sebahunya ke belakang
telinga. “Kamu dulu kelihatan malu-malu gitu kalau sedang berhadapan dengan
lawan jenis, bahkan padaku sekalipun. Tapi itu dulu sih.” Ratu tertawa pendek.
“Sekarang kamu sudah tidak malu-malu lagi, dan bahkan bisa mendapatkan hati
gadis yang kamu sukai. Kalau sudah mendapatkannya, kamu harus janji pada dirimu
sendiri kalau kamu akan terus menjaganya.” Ratu mendekatkan dirinya padaku, ia
setengah berbisik. “Jangan sekali-kali kamu mengecewakannya, karena dia akan
terluka, dan luka itu akan terus membekas meski kamu berhasil menghapusnya.”
Aku terdiam sejenak, mencerna apa
yang baru saja dikatakan Ratu. Dia mengucapkan hal yang benar, dan aku setuju
dengan itu. Mau bagaimana pun aku tidak akan mengecewakan Maria, meski pada
akhirnya ia akan meninggalkan desa ini tanpa tahu ia akan kembali atau tidak.
Semua tinggal masalah waktu.
Aku bersipandang dengan Ratu,
melihat pancaran bola matanya yang hitam namun terlihat jernih. Ia masih
tersenyum manis. Lantas, aku berkata, “Gaya bicaramu seperti orang bijak saja,
Ratu. Tentu saja sebagai laki-laki aku tidak akan mengecewakannya.” Aku
tertawa.
“Aku ‘kan hanya mengingatkanmu saja.
Siapa tahu kamu tiba-tiba melakukan kesalahan.”
“Tenang saja.”
Ratu menaikkan sebelah alisnya. Ia
memukul pelan lenganku. “Kamu ini terlihat tenang sekali.” Dia tertawa. “Kalau
begitu, semoga hubungan kalian langgeng, ya.”
“Amin. Terima kasih.”
Sesaat terjadi keheningan di antara
kami berdua. Aku melabuhkan pandangan kembali pada Maria yang kini sedang
memberikan berbagai macam mainan pada anak-anak kecil desa. Rasanya benar
memang dia seperti malaikat yang turun dari langit. Selain cantik ternyata dia
pun baik dan ramah ke setiap orang. Tak habis pikir aku berhasil menaklukan
hatinya itu.
“Hei, Mahesa.” Suara Ratu yang
lembut membuatku menoleh padanya. “Semua persiapan untuk nanti malam sudah
siap. Kamu tinggal membawa dia ke sana.”
“Baiklah. Terima kasih sudah
membantuku.”
“Sesama teman ‘kan harus saling
membantu.”
****
Aku
tengah duduk di teras rumah kediaman Tuan Airlangga. Rumah bergaya Belanda
tempo dulu, dan terletak di dekat hamparan kebun teh ini terasa nyaman. Meski sang
mentari telah turun dari singgasananya digantikan oleh sang rembulan,
bintang-bintang bertaburan di atas langit, serta hawa dingin malam yang menusuk
kulit, aku merasa nyaman berdiam diri di luar sini sambil menunggu malaikatku
keluar dari rumahnya.
Kuraih secangkir cokelat hangat di
atas meja sebelah kursi yang sebelumnya disiapkan oleh istri Tuan Airlangga,
menyicipnya sedikit sekadar menerima rasa manis bercampur pahit pada lidahku.
Sudah satu jam aku menunggu di sini sejak maghrib
tadi hanya untuk mengajak putri cantiknya pemilik perkebunan teh ini ke tempat
yang sudah aku janjikan. Sudah saatnya aku memberikan hadiah Natal untuknya,
dan kurasa ia akan suka dengan hadiahku nanti.
Kucicip lagi cokelat hangat
perlahan, kemudian menenggaknya. Rasa manis bercampur pahit dari cokelat
sedikit memberiku ketenangan. Ya, aku harus sedikit bersabar lagi, meski ini
sudah cukup lama bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Maria saat
ini. Kalau hanya sekadar berpakaian saja seharusnya tidak terlalu lama. Hmm,
apakah orang kota rata-rata kalau berpakaian itu membutuhkan waktu lama?
Padahal untuk berpakaian saja hanya mebutuhkan waktu sekitar lima sampai
sepuluh menit, tergantung dari acara yang akan dihadiri. Contohnya lihat saja
aku, yang hanya mengenakan kemeja lengan pendek dan dipadukan celana jeans.
Alas kaki? Aku hanya mengenakan sandal gunung, tidak lebih.
Tetapi itu semua kembali ke diri
masing-masing yang mempunyai selera cara berpakaian berbeda-beda.
Yang kutunggu-tunggu akhirnya
datang. Maria datang menghampiriku. Gaun putih sebatas lutut dengan motif
ukiran kembang-kembangan senada dengan paras cantiknya yang bak malaikat.
Rambutnya diikat ke belakang membentuk kuncir kuda, menyisakan poni depan
panjang yang disampirkan ke samping kanannya. Ditambah lagi pada kedua sisi
wajahnya, beberapa helaian rambut membentuk ponytail.
Dia benar-benar cantik malam ini.
“Maaf, nunggunya lama ya?” Bahkan
suara khasnya pun membuatku terhenyak, melamun, terpesona akan paras malaikat
di depanku.
Buru-buru aku kembali tersadar dari
lamunan. Aku berdiri di hadapannya, membungkukkan badan sambil memosisikan
tangan kananku di perut seperti seorang prajurit yang hendak menjemput
permaisuri kerajaan menggunakan kuda. Sontak Maria tertawa.
“Kamu tidak perlu bertingkah seperti
itu, Mahesa,” ujarnya. Aku menegakkan badan melihatnya menampakkan senyum bulan
sabitnya. Senyum andalan. “Memangnya aku ini permaisuri kerajaan yang sering
dikawal oleh para pengawalnya.”
“Sekali-kali tidak masalah, Maria.”
Lagi, dia tertawa. “Ada-ada saja
kamu, tuh.”
“Sudah siap?”
Maria mengangguk. “Memangnya kita
mau kemana?”
“Ke tempat yang tidak akan kamu
lupakan seumur hidup.”
“Gaya bicaramu membuatku semakin
penasaran saja,” ucapnya, mengernyitkan dahi.
“Dijamin tempatnya pasti kamu suka
dan tidak akan bisa melupakannya.” Aku tersenyum.
“Kalau begitu buat aku jadi tidak
penasaran lagi,” pintanya seraya merentangkan kedua tangan. Aku menyambut kedua
tangannya, mengusapnya perlahan, dan kukecup bagian punggung telapak tangannya.
“Tentu, malaikatku.”
Aku menariknya dan mulai mengajaknya
pergi ke tempat yang sudah aku siapkan beberapa hari sebelumnya. Kami menyusuri
hamparan perkebunan teh melalui jalan setapak. Tangan kami saling berpegangan
satu sama lain, erat seperti enggan dipisahkan. Udara dingin malam ditemani
cahaya sang rembulan tak menyurutkan langkah kaki kami menuju tempat yang akan
dituju. Maria tak henti-hentinya merekahkan senyum, hingga kami mulai memasuki
area hutan, senyumnya masih terpasang jelas di mulutnya.
“Tunggu sebentar, Maria.” Aku
berhenti melangkah.
“Ada apa, Mahesa? Apa tempatnya
masih jauh?” tanyanya penasaran.
Aku tak menjawab. Alih-alih aku
mengambil syal kecil penutup mata dari saku celanaku, kemudian kupasangkan di
kedua mata Maria. Tak ayal gadis itu merasa terkejut dengan yang barusan aku
lakukan.
“Tidak apa-apa, Maria, anggap saja
aku sedang memberimu kejutan,” kataku setelah selesai mengikat penutup mata di
kedua matanya. “Tempatnya sudah dekat kok, sebentar lagi sampai.”
“Kalau seperti itu kesannya sudah
bukan kejutan lagi.” Kedua tangannya merentang ke depan mencari-cari
eksistensiku. Aku meraih salah satu tangannya, lalu kugandeng erat agar tak
lepas.
“Meski begitu, aku jamin kamu tetap
terkejut setelah kita sampai di sana,” kataku seraya menuntunnya berjalan.
Kudengar tawa Maria terlontar dari
mulutnya. “Kamu memang selalu membuatku penasaran, Mahesa.”
Aku menyengir, lantas mulai menuntun
jalan Maria ke tempat itu. Jalan setapak yang dilalui tak terlalu banyak bebatuan,
yang ada hanyalah semak belukar di kedua sisi jalan. Aku melihat Maria mengaduh
karena semak-semak tersebut bergesekan dengan kakinya dan membuatnya gatal. Aku
hanya bisa menyuruhnya bersabar sambil terus menuntun jalannya agar tidak jatuh
karena tempat yang dituju sebentar lagi akan terlihat.
Sampai di area cukup luas dengan
pepohonan pinus yang mengelilingi sekitarnya, toples-toples bercahaya menyambut
kedatangan kami. Aku berhenti berjalan.
“Kita sudah sampai?” tanya Maria.
“Iya,” jawabku.
Kulepas penutup mata yang membalut
matanya. Ia mengerjapkan mata. Kulihat kedua matanya berbinar cerah seperti
sedang melihat sesuatu yang menakjubkan, mulutnya menunjukkan seutas senyum
lebar, deretan gigi putihnya terlihat jelas, dan juga kedua matanya membentuk
bulan sabit.
“Kita di mana, kok banyak banget
toples bercahaya di sini?” Maria memandang takjub dengan tempat yang baru saja
kami singgahi.
Aku menjawab, “Kita di Leuweung
Pikanyaah, Maria. Toples-toples bercahaya ini isinya kunang-kunang lho.”
“Benarkah?” Kedua matanya membeliak
tak percaya. Aku mengangguk. “Jadi waktu kemarin malam teman-temanmu datang
membawa toples ternyata untuk menangkap kunang-kunang sebanyak ini?”
Aku mengangguk lagi. “Sebelumnya
‘kan aku pernah bilang kalau aku ingin memberimu sesuatu di hari Natal dan...
juga ulang tahunmu.”
Ucapanku barusan membuatnya menoleh
padaku. Sebelah alisnya terangkat. “Kok kamu bisa tahu kalau sekarang aku ulang
tahun?”
Aku tertawa. “Tentu saja aku tahu,
Maria.”
“Jangan-jangan kamu mata-mata, ya?”
Dia meyipitkan kedua matanya sambil mengacungkan jari telunjukku ke arahku.
“Ada-ada saja kamu ini,” tukasku,
tertawa. “Toples berisi kunang-kunang ini memang salah satu hadiah yang akan
kuberikan padamu, tetapi bukan itu yang menjadi hadiah utamanya.”
“Terus apa, dong?”
Aku tak menjawab pertanyaannya itu.
Alih-alih menarik lengannya masuk lebih dalam ke area Leuweung Pikanyaah. Maria
tak hentinya bertanya padaku hendak memberinya hadiah apa di hari Natal
sekaligus hari ulang tahunnya ini. Dia terlihat begitu tidak sabaran. Aku
mengeratkan peganganku pada lengannya dan mempercepat langkah.
Sampailah di area tengah Leuweung
Pikanyaah. Maria terlihat takjub, kedua matanya berbinar, mulutnya menganga
seakan-akan tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat sekarang. Pohon Natal
yang jauh-jauh hari sudah susah payah kubuat dengan bantuan teman-temanku kini
terpajang dengan kokohnya. Pernak-pernik Natal pemberian Tuan Airlangga padaku
tempo lalu melengkapi setiap sisi dahan-dahan pohon Natal itu. Toples-toples
berukuran kecil dengan kunang-kunang bercahayanya menerangi setiap sisi pohon Natal
yang sudah kubuat. Terang dan terlihat indah, bahkan cahaya yang dihasilkan
banyak kunang-kunang itu menyinari sekitaran tempat ini.
“Ini semua kamu yang buat sendiri?”
tanya Maria takjub. Ia menghampiri pohon Natal itu sekadar melihatnya dari
dekat. Ia berjongkok dan mengambil patung gembala di bawah pohon tersebut—ada
kandang kecil yang dibuat sedemikian rupa dari kayu dan terdapat beberapa
patung kecil di dalamnya.
“Iya, Maria, tetapi aku mendapat
sedikit bantuan dari teman-teman,” jawabku, menggarukkan belakang kepala yang
tidak gatal.
“Selamat ulang tahun, Maria!”
Suara teriakan tiba-tiba menggema ke
seluruh area hutan. Maria terlonjak kaget, tetapi aku tidak terkejut sama
sekali saat rombongan teman-temanku di desa mulai keluar dari tempat
persembunyiannya masing-masing—sebelumnya aku sudah menyuruh mereka bersembunyi
jika aku sedang dalam perjalanan ke sini bersama Maria. Terlihat raut-raut
wajah sumringah dari teman-temanku, terutama Tara yang terus berteriak sambil
bertepuk tangan riang. Kalau saja Ratu tidak menyenggol lengannya, mungkin saja
sudah kusumpal mulutnya dengan dedaunan.
“Ya ampun, sampai segitunya kalian
menyiapkan ini semua cuma untuk merayakan ulang tahunku. Terima kasih, ya,”
ujar Maria tersenyum.
“Semua ini idenya Mahesa, lho,”
sahut Tara sambil tertawa.
“Dia menyiapkan ini semua sebulan
yang lalu sebelum kalian resmi jadi sepasang kekasih,” Gara melanjutkan.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa
maluku. Ucapan mereka membuat pipiku terasa panas. Aku tak berani memalingkan
wajah ke depan, bahkan untuk menoleh pada Maria saja aku tidak sanggup. Hah...
rasa malu-maluku kembali kumat.
“Hei, lihat, ada yang tersipu malu
nih sekarang,” Ratu malah memperkeruh suasana. Teman-temanku yang lain tertawa,
mengejekku. Hei... bisa tidak untuk tidak membuatku merasa malu seperti ini?
Aku hanya cengengesan menanggapi
setiap ocehan mengejek dari teman-temanku. Kurasai sentuhan lembut pada tangan
kiriku. Maria tersenyum manis dan menunjukkan mata bulan sabitnya. Lagi-lagi
aku terhenyak.
“Jadi sesuatu yang akan kamu berikan
di hari Natal ini adalah pohon Natal buatanmu sendiri?”
“I-iya,” jawabku, menganggukkan
kepala. “Kamu suka hadiahnya.”
Maria mengangguk cepat tanpa
menghilangkan senyum bulan sabitnya. “Suka, suka banget!”
“Wah, teman-teman! Kayaknya kita
cuman jadi nyamuk saja di sini,” Tara tiba-tiba menyeletuk dengan lantang.
“Balik kanan, gerak!”
Sesuai komando Tara, tanpa tedeng
aling semua teman-temanku di sini berbalik badan. Mereka berbisik-bisik dan
berguman yang tidak jelas, membuatku mengernyitkan dahi dan tak bisa mendengar
apa yang mereka gumamkan.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan,
Mahesa.” Maria menyentuh sebelah pipiku. Detik berikutnya kurasakan sebuah
kecupan mendarat di pipiku. Aku terhenyak sejenak, ia menciumku. “Terima kasih,
ya. Hadiahnya aku suka banget. Sepertinya aku tidak akan bisa melupakan semua
ini.”
“Eh... i-iya, sama-sama,” balasku
gugup. “Berarti setelah ini, kamu....”
Maria mengangguk, memotong ucapanku.
Lantas, ia memeluk tubuhku, erat seperti tak ingin terlepas. “Meski begitu,
kita tetap masih bisa bersama. Kamu sudah mengajariku banyak di desa ini,
bagaimana aku bisa melupakan semua itu?”
Kuusap perlahan rambutnya, dan
kukecup puncak kepalanya. “Kita bisa bertemu lagi?”
“Entahlah, biar waktu saja yang
menjawabnya,” jawabnya, sedikit tertawa. “Hmm, kita masih bisa berkomunikasi
satu sama lain.”
“Bagaimana caranya? Aku ‘kan tidak
memiliki gadget apa pun. Kamu tahu
sendiri kalau di sini tidak ada listrik sama sekali.”
“Pakai surat saja.”
“Surat? Maria mengangguk dalam
dekapan hangatku.
Kudengar kembali bisik-bisik dari
teman-temanku di seberang sana yang sepertinya tengah membicarakanku. Tak kuhiraukan
itu, alih-alih mendekap erat tubuh malaikatku ini.
“Jadi, kita kirim-kiriman surat
kalau sedang rindu,” ujarnya, menoleh padaku dan tersenyum.
“Jangan rindu,” tukasku, yang
membuat Maria mengernyitkan dahi.
“Kenapa?”
“Rindu itu berat, angkat jemuran
saja lebih ringan.”
Bukan kesan menyentuh yang
kudapatkan, malah cubitan darinya pada hidungku membuatku mengaduh sakit.
Kembali, kudengar sayup-sayup bisik dari teman-temanku di seberang sana. Mau
sampai kapan mereka berada di sana? Mengganggu kemesraan antara aku dengan
gadisku ini.
“Kamu berniat melucu tapi tidak lucu
sama sekali. Garing,” ujarnya seraya tertawa cekikikan.
Aku cengengesan, menggaruk tengkuk
yang tidak gatal. “Maklum, aku tidak pandai melucu layaknya seorang komedian.”
Maria kembali tertawa. Ia memegang
pergelangan tanganku, mengaitkannya erat tak ingin terlepas. “Bisa kamu
bercerita padaku lagi sebelum aku kembali ke kota?”
“Bercerita tentang apa?”
Maria menaruh jari telunjuknya pada
dagu, menengadahkan kepala ke atas hendak berpikir. “Hmm, cerita bagaimana kamu
bisa menyiapkan semua hadiah ini untukku.”
Aku menimang-nimang sejenak
permintaan Maria. Ia tersenyum menunggu tanggapanku. Aku menoleh dan ikut
tersenyum. “Baiklah, aku akan menceritakannya. Tapi mulai dari mana, ya?”
“Dari pertama kali kamu mendapatkan
ide tentang semua ini.”
“Hmm, begitu ya. Baiklah.”
Maka, aku mengajak Maria duduk di
atas salah batu di sini dan mulai bercerita. Dia terlihat sangat antusias dan
begitu penasaran dengan ceritaku. Tak henti-hentinya ia menyunggingkan senyum
bulan sabitnya yang sesekali membuatku terhenyak. Sepertinya aku harus mulai
membiasakan diri berhadapan dengan senyumannya itu. Sementara dari tempatku
duduk, kulihat teman-temanku yang sudah berbondong-bondong mengitari ke sekitar
pohon Natal dan saling bercakap-cakap satu sama lain, bahkan Tara, Gara, dan
Ratu membuat api unggun untuk membakar jagung bakar—itu juga salah satu bagian
dari ideku, karena tidak etis jika sedang merayakan perayaan ulang tahun tanpa
hidangan makanan.
“Hei, teman-teman. Jagung bakar
cukup semua orang yang ada di sini!” sahut Tara.
Alhasil, semua teman-temanku mulai
mengerubungi api unggun dan memakan jagung bakar yang sudah jadi. Sedangkan aku
sendiri masih sibuk bercerita dengan Maria. Aku tahu kalau ini adalah malam
terakhirku dengannya, dia akan kembali ke kota dan entah kapan akan kembali
lagi ke sini. Tapi meski begitu, malam ini terasa sangat menenangkan.
[POHON NATAL
UNTUK DESY]
Lima bulan setelah Maria kembali ke kota,
hari-hariku dijalani dengan penuh semangat. Meski malaikatku sudah tidak berada
di desa asri nan sejuk ini lagi, aku tetap harus menjalani hidupku. Kehadiran
dia di sini membuatku menjadi berubah. Teman-temanku di desa mulai berpendapat
kalau aku sudah tidak malu lagi jika harus berhadapan dengan wanita, bahkan ada
salah satu gadis di desaku yang bernama Indira sempat menyatakan perasaannya
padaku. Namun, jika hati sudah memilih hati yang tepat, tentu saja ia tidak
akan mengkhianatinya.
Tak
bisa kutampik, kali ini aku benar-benar merindukan Maria. Aku tidak tahu apa
yang sedang dilakukannya sekarang. Seingatku, sebelum ia kembali ke kotanya, ia
sempat bilang padaku kalau ia akan berkuliah di salah satu universitas swasta
di kotanya. Katanya, jika liburan semester nanti ia akan liburan di sini. Kalau
benar seperti itu tentu saja aku merasa senang dibuatnya.
Sempat
ia mengirim surat padaku karena ia sangat merindukanku. Dan melalui perantara
surat-menyurat itulah aku bisa tahu kalau ia dalam keadaan baik-baik saja di
sana, begitu pun sebaliknya. Ini sudah bulan kelima, dan Maria belum
mengirimkan surat. Biasanya setiap satu bulan sekali akan ada surat darinya
yang tersimpan di meja kamarku. Tapi sekarang kenapa rasanya surat itu lama
sekali datangnya?
“Hei,
Mahesa!” Suara panggilan Gara dari luar jendela kamarku membuatku terlonjak
kaget.
Aku
mendengus kecil, menatapnya sedikit kesal karena telah membangunkanku dari
tidur siang. “Ada apa, Gara?”
Gara
menyodorkan amplop putih padaku. Aku menerimanya. “Surat dari siapa?”
“Siapa
lagi kalau bukan gadismu,” jawabnya, menaik-naikkan kedua alisnya sambil
menyengir.
Buru-buru
aku membuka amplop tersebut dan mulai membaca isi surat dari Maria, gadisku
yang sudah kurindukan. Kurasakan kehadiran Gara melongokkan kepala ke dalam
jendela kamar, penasaran dengan isi surat tersebut. Kubiarkan ia melihatnya.
Untuk : Laban Mahesa Durga
Dari : Maria Genoveva Natalia Desy Purnamasari
Gunawan
Hai, Mahesa, laki-laki yang sudah
mengajarkan banyak hal padaku dan luluh dibuatnya. Bagaimana kabarmu di sana?
Baik-baik saja, kan? Aku harap kamu dalam keadaan sehat.
Kamu tahu tidak, aku senang sekali
akhirnya bisa mendapatkan universitas yang aku inginkan. Rasanya aku ingin
sekali merayakan ini bersamamu di desa, tapi nyatanya jarak tidak memihak pada
kita. Dalam waktu dekat, dua bulan lagi aku akan memulai perkuliahanku. Doakan
aku ya, agar aku bisa menjalaninya. Oh iya, bukan itu saja. Perusahaan yang
dikelola papaku akhirnya sukses besar. Papa bilang katanya sebagian keuntungan
dari hasil perusahaannya akan dipakai untuk perkembangan desamu. Dan kamu tahu
apa artinya...? Artinya..., kita akan bertemu lagi. Yeayyy...!
Bersabarlah sedikit lagi ya, Mahesa.
Dalam waktu dekat ini aku, papa, dan mamaku akan kembali lagi ke desamu. Sudah
lama sekali aku ingin menikmati jernih dan segarnya Curug Malaikat. Aku juga
ingin merasakan hutan eksotis dan sejuknya Leuweung Pikanyaah, lalu naik ke
atas rumah pohon dan bermain-main dengan burung hantu liar, Parashakti. Aku
juga ingin mengunjungi tempat sakral makamnya Nyai Andang yang dahulu berhasil
menyatukan desa. Kali ini kamu tidak akan berhasil menakutiku, karena aku sudah
tidak takut lagi. Aku juga rindu bermain dan belajar dengan teman-temanmu,
Ratu, Tara, Gara, dan lainnya. Aku juga ingin melihat keahlianmu dalam seni
melukis dan memahat, kuharap kamu juga mau mengajariku hal itu. Hahaha. Dan,
yang paling terpenting adalah, aku merindukanmu dan berbagai kisah yang sering
kamu ceritakan.
Tunggulah sampai aku tiba di sana.
Jangan memulainya tanpaku ya, karena jika demikian maka aku tidak akan merasa
penasaran lagi. Kamu ‘kan sering banget membuat aku penasaran. Hahaha. Sampai
bertemu lagi, Mahesa. Kuharap saat aku datang, yang pertama kulihat adalah
wajahmu yang menenangkan. Dadah.... ^^
Salam sayang,
Maria.
Senyum
terus terukir di bibirku setelah membaca surat dari Maria. Ia juga
merindukanku, dan dalam waktu dekat ia akan kembali lagi ke desa ini. Entah
kapan waktunya, yang jelas aku tidak sabar untuk bisa bertemu dengannya lagi.
Kusimpan surat darinya di atas meja kamarku, lantas merebahkan diri di atas
ranjang sambil menatap langit-langit dan tersenyum.
“Kelihatannya
kamu sangat senang sekali, Mahesa.” Gara yang masih melongokkan kepalanya dari
luar jendela menatap padaku.
“Bagaimana
tidak senang, Gara. Maria dalam waktu dekat akan kembali lagi ke desa,” ujarku.
“Bagus
dong kalau begitu. Dengan kedatangan dia memberi warna tersendiri bagi desa.”
“Ya,
kau benar.”
“Lalu,
apa yang akan kamu lakukan?” tanya Gara, menopang dagu pada kusen jendela.
“Tentu
saja menunggunya datang ke sini. Kalau waktunya sudah tiba, aku yang akan
pertama kali menyambut kedatangannya,” jawabku sedikit bersemangat.
Gara
tertawa. “Percaya diri sekali.”
Tak
kuhiraukan ucapan temanku barusan. Alih-alih kembali memandang langit-langit
kamar. Senyum semakin mengembang di bibirku. Gadisku, malaikatku, akhirnya akan
datang kembali ke sini. Hingga waktunya tiba, yang bisa kulakukan hanyalah
menunggu.
****
Tugasku
menuliskan cerita ini sudah selesai. Jari jemari saya terasa sangat pegal dibuatnya.
Entah sudah berapa halaman saya menyelesaikan cerita ini. Kalau saja temanku,
si Yang-Punya-Kuasa kisah ini tidak datang meminta tolong
padaku membuat kisah ini, saya tidak akan merasa kecapekan seperti ini. Lebih
baik saya melukis atau memahat saja, itu jauh lebih membuat pikiran saya
tenang.
Asal kalian tahu saja, otak saya
terasa panas harus memikirkan alur, latar, dan sebagainya untuk menyelesaikan
satu cerita saja. Meski temanku sudah memberi arahan pada saya, tetap saja saya
merasa pusing. Satu hal yang dapat saya pelajari, menulis itu tidak mudah. Kau
harus memikirkan berbagai macam aspeknya agar ceritamu terlihat hidup dan
bermakna. Saya tidak mengerti dengan teman saya yang satu ini sudah menulis
banyak cerita tapi dia tidak terlihat seperti orang yang sedang kebingungan.
Hmm, kurasa dia mempunyai otak super-duper encer. Lihat saja sekarang, setelah
saya menyelesaikan cerita ini, dia sudah mulai membuat cerita baru lainnya.
Sejak saya mengenalnya, dia dengan
mudah mendapatkan inspirasi dari apa yang dia lihat, dengar, dan rasakan. Saya
sendiri bahkan sekadar membuat satu sketsa gambar di kertas gambar saja harus
merenung beberapa jam di rumah pohon sambil melihat hamparan hutan hijau. Saya
menghela napas mengingat betapa gila otaknya itu.
Sekarang tugas saya membantunya
sudah selesai. Dia akan kembali ke kotanya berasal dalam waktu dekat ini. Saya
harap kisah yang saya buat bisa membuatnya puas. Bukan hanya dirinya, tetapi
kalian para pembaca, dan juga idolanya yang berulang tahun tepat di hari Natal—jika
dia membacanya.
Kalau begitu saya pamit undur diri.
Tugas saya sudah selesai di sini. Dan terakhir, ada hasil karya buatan saya dan
teman saya berkaitan dengan idolanya.

Salam,
L M D
~SELESAI~
Oleh :
Martinus Aryo
Twitter :
@martinus_aryo
####
Sekadar
corat-coret:
Ini adalah
cerita kedua saya di blog ini. Dalam
rangka menyambut hari ulang tahun oshi
saya yang namanya panjang kayak kereta alias Desy, alhasil jadilah cerita ini.
Panjang juga nih cerita saya buat. Wkwkwk.
Saya mengusung
konsep “cerita di dalam cerita”, bisa dilihat dari nama penulis di cerita ini
ada dua. Jadi, saya selaku si Yang-Punya-Kuasa
kisah ini tidak banyak berperan di dalamnya, melainkan teman saya inilah
(anggap saja dia adalah kerabat jauh saya yang tinggal di desa terpencil :v)
yang menuliskan kisah ini. Padahal, sebenarnya tetap saya yang nulis sendiri.
Jadi, jangan bingung kalau di awal saya memberi nama penulisnya berbeda (meski
cuma inisial).
Cerita ini
selain terilhami dari hari Natal dan ulang tahun oshi saya, Desy, tapi juga ada beberapa hal lainnya yang saya
jadikan bahan tulisan saya ini. Mari saya sebutkan satu-persatu:
Setahun yang
lalu saya teringat saat mengunjungi teman saya. Dia tinggal di salah satu desa
kecil yang ada di Pangalengan. Dari situlah saya menciptakan sendiri desa
tempat tinggal Mahesa di cerita ini (tentunya dengan modifikasi sesuai
imajinasi saya). Sengaja saya tidak memberi nama pada desanya, karena saya
bingung mau ngasih nama apa.
Lalu, Curug Malaikat.
Ini saya terinspirasi dari Curug Putri yang berada di kawasan Taman Nasional
Palutungan di Kuningan. Saya sudah sering ke sana jika sedang mudik ke
Kuningan. Kalau kalian singgah ke Kuningan, cobalah mampir ke Curug Putri.
Tempatnya tak kalah indah dari curug-curug lainnya.
Nah, kalau
Leuweung Pikanyaah ini saya menciptakannya sendiri, benar-benar menciptakannya
sendiri. Termasuk rumah pohon dan Parashakti, si burung hantu kecil.
Kemudian, makam
Nyai Andang yang disakralkan. Itu tempatnya di puncak bukit. Saya terinspirasi
dari puncak Gunung Manglayang di daerah Cibiru, Bandung. Di atas puncaknya juga
terdapat satu makam.
Terakhir,
dongeng-dongeng dan cerita yang diceritakan Mahesa kepada Maria itu merupakan
hasil karangan saya. Tapi saya sedikit menghubungkan dengan beberapa history dan mitos yang banyak di
internet untuk menyempurnakannya. Contohnya, saya menyelipkan Kerajaan Sunda.
Kemudian, saya juga memasukkan nama Kanjeng Ratu Kidul (tadinya saya mau
memasukkan nama Nyi Roro Kidul atau Dewi Kandita—Dewi Kandita ini nama asli
dari Nyi Roro Kidul, saya sudah baca-baca di wikipedia—tapi saya mengurungkan
niat menggunakan nama itu). Sekali lagi saya tekankan, ini adalah hasil
karangan saya sendiri, tidak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun.
Sepertinya cukup
segitu dulu saja. Semoga kalian merasa puas membaca cerita ini. Semoga kita
bisa bertemu di lain kesempatan.
Selamat Hari Natal...
dan Selamat Ulang Tahun untuk Desy yang ke 21, meski ulang tahunnya nanti
tanggal 25 Desember. Wakakakakaka :v
2 comments
seru" ditunggu cerpen slanjutnyaa
Cerpen yg paling panjang gue baca...Lanjutkan karyanya 👍👍