Choose One
Chapter 7
: Kebahagiaan yang Lain

“Ci, Ci Desy kenapa?”
Tanya pria itu.
Desy menyeka air mata
dan memaksakan senyum kepada pria itu.
“Cici gak apa-apa
kok, Wil.”
“Gak apa-apa gimana?
Nangis gitu juga.”
“Gak tau nih,
kelilipan kali.”
Wahana bianglala itu
berhenti, Desy dan adiknya, Willy, segera turun.
“Pulang yuk, Wil.”
Ucap Desy datar
“Ya ayo, udah sore
juga ini.”
Mereka berdua pun pulang
dengan motor hitam milik Willy. Sepanjang perjalanan Desy hanya diam memandang
sekitar dengan tatapan kosong. Pikiranya masih berkalut akan kejadian yang baru
saja ia lihat di wahana bianglala. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi
pipi Desy. ia berisak, membenamkan kepala ke punggung adiknya. Tiba-tiba dia
berteriak
“JAHAAAAAAAAAAAAAAAAATTTTT!!!”
Sambil mencubit perut samping adiknya.
Karena kaget
sekaligus kesakitan, Willy yang sedang menyetir motor pun jadi tidak fokus,
membuat motor yang mereka naiki oleng dan malah melaju di jalur yang berlawanan
arah. Di jalur itu melaju sebuah mobil truk. Melihat ada motor yang melaju
berlawanan arah, sang supir truk panik. Ia segera menginjak rem dan membunyikan
klakson. Jarak motor dan truk itu hanya beberapa meter. Willy yang juga panik berusaha keras untuk
mengendalikan motornya. Jarak motor Willy dengan truk sangat dekat. Disaat-saat
terakhir Willy berhasil mengendalikan kembali motornya dan menghindari
tabrakan. Sumpah serapah diucapkan oleh pengemudi truk itu pada Willy.
“Hah… hah… hah.”
Willy menepikan motornya, menghampiri warung yang ada di pinggir jalan. Dia dan
Desy masih shock akan peristiwa yang hampir saja menimpanya. Dengan sekali
tenggak ia menghabiskan sebotol air mineral. Keringat dingin juga mengalir
diseluruh tubuhnya.
Willy memperhatikan
kakaknya yang duduk disampingnya. Desy juga nampak masih shock. Matanya menatap
kosong kebawah sambil beberapa kali meneguk air mineral dalam botol.
“Ci…” panggil Willy
dengan suara lirih
Desy hanya menjawab
dengan menggerakan alisnya seolah berkata “apa?”
“Cici ini kenapa sih?
Tadi itu hampir aja tau. Kalo kita telat dikit aja pasti kita udah gak tau deh
apa jadinya. Cici tiba-tiba nyubit gitu bikin kaget…..” Willy terus mengocehkan
perihal tadi.
Desy masih menatap ke
bawah dengan tatapan kosong. Namun bukan memikirkan peristiwa yang hampir
merenggut nyawanya dan adiknya. Melainkan memikirkan Liwa. Apakah kalau dia
mati apa Liwa akan peduli? Apa Liwa akan menangisi mayatnya? Siapa yang akan
jadi pacar Liwa kemudian? Itulah yang dipikirkan Desy.
“Ci, cici denger gak
sih?! Pokoknya lain kali cici haru…”
“Makan yuk.” Desy
berdiri dan membayar minumannya dengan Willy lalu menghampiri motor. “Cepetan!
Cici udah laper.”
Willy mau tak mau nurut
saja dan mereka segera mencari tempat makan.
~[Choose One]~
Willy memandang heran
kakaknya. Mereka sedang berada di restoran masakan padang. Yang membuat Willy
heran adalah kakaknya makan dengan sangat lahap. Saat nasi Willy baru habis
setengahnya, Desy sudah hampir menghabiskan dua porsi nasi. Namun, ada yang
lebih aneh sorot mata Desy, terasa kosong, terasa hampa semenjak turun dari
wahana bianglala. Hal ini membuat Willy hendak menanyakan apa sebenarnya yang
terjadi.
“Ci.”
“Apa?” Desy
menghentikan kegiatanya memutilasi paha ayam bakar
“Ada apa sih
sebenernya? Semenjak dari bianglala Cides udah kaya bukan Cides lagi. ngelamun
mulu pula. Cerita deh sama Willy.”
Desy segera mencuci
tangan dengan air kobokan dan mengelap tangan serta mulutnya.
“Haaaah” Desy
mengambil nafas berat. “Cici liat pacar cici ciuman sama cewe di bianglala
tadi.”
“HAH? APA?!!” Willy
tersentak kaget
“Biasa aja kali.”
“Biasa gimana?!
Kenapa tadi gak cici langsung labrak aja?!! Ada aku kan! Coba cici ceritanya
daritadi. Siapa namanya,Ci? Sini alamat rumahnya. Berani beraninya dia nyakitin
Cides!”
“Udah, bukan urusan
kamu, Wil. Kamu gak tau apa-apa.”
“Ya gak bisa!!! Dia
udah berani-berani nyakitin Cides. Kalo Cides gak mau ngasih tau biar aku cari
tahu sendiri.”
Brrrrraaaaaaaakkk!!! Desy tiba-tiba memukul meja.
“Kalo kamu berani
macem-macem, jangan harap cici masih mau anggep kamu adek.” Desy menatap tajam
adiknya, sementara Willy diam mematung.
“Kamu gak tau apa-apa
soal dia, Wil. Kamu gak tau apa-apa” Mata Desy pun meneteskan beberapa air mata
dan tak lama isak tangis Desy mulai terdengar. Desy terus menangis sambil
menunduk tanpa mempedulikan pasang mata yang melihat kearahnya.
Willy jadi bingung,
ia sebisa mungkin menenangkan kakaknya itu. Setelah beberapa menit, tangis Desy
terdengar mereda. Ia menyeka air mata yang keluar dari kedua matanya kemudian
tersenyum kearah Willy.
“Maaf ya, Wil. Cici
jadi gini. Tapi mungkin ini yang cici butuhin sekarang. Besok juga cici bakal
kaya biasa lagi kok.”
Willy masih
memandangi kakaknya
“Ayo pulang.” Ajak
Desy yang segera beranjak.
Di dalam hatinya,
Willy menyimpan kebencian terhadap orang yang telah melukai kakaknya itu.
~[Choose One]~
“Makasih untuk hari
ini.”
“Jadi, udah kebayar
kan kencan yang gak jadi waktu itu?”
Viny mengangguk
sambil tersenyum. “Dan mulai besok kita kembali jadi temen. Gak lebih.”
“Ya. semoga sukses
tunangannya, bentar lagi kan?”
“Diundur sih, jadi 3
minggu lagi.”
“Selamat berbahagia.”
“Kamu juga yang
bahagia ya, pokoknya kamu datang ke acara tunangan aku harus bawa pasangan.”
“Emang kebahagiaan
diukur dari punya pasangan atau enggak?”
“Ya gak gitu juga,
tapi pokoknya kamu harus cepet-cepet cari pasangan baru, ya?”
“Tenang aja. Udah
ada.”
“Oh ya?”
“Hehe, mungkin. Oke
kalau gitu. ak..eh gw pulang dulu. Sekali lagi makasih buat hari ini.”
Viny mengangguk
“Dah.” Ucap Liwa
“Dah.”
~[Choose One]~
Liwa memarkirkan
motor di depan warnetnya lalu masuk ke dalamnya.
“Dooooooor” Okta
tiba-tiba muncul dari balik pintu berusaha membuat Liwa kaget.
“Gak kaget.
Wleeeeeee. Eh sore-sore ngapain disini, Tut?”
“Laaaaaah emang papah
gak ngasih tau?”
“Ngasih tau apa?”
“Gak ngecek-ngecek
hape ya? liat deh”
Liwa pun sadar ia
tidak membuka-buka hp miliknya. Benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab
dari ayahnya Okta dan juga pesan. Liwa membuka pesan itu dan isi pesan itu
kurang lebih adalah bahwa ayah dan ibu Okta akan pergi ke Palembang selama
seminggu dan Liwa diminta untuk menemani dan mengantar jemput Okta.
“Suruh nemenin? Aku
tinggal dirumah Otut selama seminggu gitu sekaligus jadi ojek pribadi?
Beeeeeeeeeh.” Komentar Liwa tampak keberatan.
“Otut yang bensinin,
makan di rumah Otut juga gratis ini, dirumah Otut ada Wi-fi sama belum lama
Otut beli PS4.”
“Oke sip, cakep. Kak
Liwa setuju.”
“Dasar.”
“Ya maklumlah,
mahasiswa yang tinggal sebatang kara pasti pikirannya gitu. betewe kita berdua
aja dong dirumah?”
“Ya enggak lah. Kan
ada bi ijah.”
“Oh iya ya. hehe.
Yaudahlah. Kakak mau nyiapin baju dulu.”
“Yaudah sana cepet.”
Liwa pun bergegas
mempersiapkan apa yang harus disiapkan. Setelah beberapa menit Liwa kembali
dengan tas ransel berisi segala persiapannya.
“Vin, kunci warnet lo
bawa aja ya, pokoknya gw titip warnet ke lo.”
“Iye-iye. Beda aja
yang mau hidup nyaman selama seminggu mah.”
“Ahaha, bisa aja lo.
Yaudah gw cabut dulu.”
“Yo.”
Liwa dan Okta pun
segera meluncur ke rumah Okta.
~[Choose One]~
“Nih, kakak pake
kamar yang ini.” Ucap Okta menunjukkan kamar untuk ditempati Liwa.
“Yaudah kakak
beres-beres dulu.”
“Kalo ada apa-apa,
panggil Otut aja di kamar sebelah ya!”
“Oke.”
Okta pun meninggalkan
Liwa di kamarnya. Liwa segera menutup pintu dan bukannya segera beberes, dia
malah meloncat ke kasur lalu membenamkan tubuh dalam dunia kapuk. Setelah
jalan-jalan seharian, Liwa memang merasa lelah juga. Ia hendak tidur namun
tiba-tiba teringat sesuatu. Ia segera membuka handphone-nya
Liwa melihat hampa
HPnya karena tidak menemukan pesan atau pun panggilan dari Desy. Apa Desy
sangat bersenang-senang dengan pria itu sampai lupa akan dirinya?
Liwa sebenarnya masih
bingung. Siapa pria yang sangat akrab dengan Desy itu? Apa benar Desy
selingkuh? Jika iya, apa alasan Desy selingkuh? Tidak mungkin karena harta.
karena harta keluarganya pun sudah lebih dari cukup. Pikiran itu terus menerus
berkecamuk dipikiran Liwa.
“Apa telpon aja ya?”
gumamnya
Namun setelah melihat
kontaknya, entah mengapa Liwa mengurungkan niatnya untuk menelpon.
“Di chat aja kali
ya?” Liwa mengetikkan beberapa kata sapaan untuk dikirim pada Desy. namun ia
kembali menghapus pesan itu.
“Tunggu dia duluan yang
ngehubungin ah.” Liwa menaruh kembali HPnya. Dan mencoba untuk tidur. Namun,
suara ketukan pintu kamarnya membuat konsentrasinya untuk tidur buyar. Ia
bangun kemudian membuka pintu kamarnya.
“Ada apa, Tut?” Ucap
Liwa ketika melihat Okta yang berdiri di mulut pintu.
“Mau tidur ya hayo?!
Mandi dulu sana ih! Bau!” Kata Okta sambil menutup lubang hidungnya.
“Nanti aja ah! Lagian
gak ngaruh sama kamu ini kan, Tut.”
“Nanti nanti kapan?
Lagian udah mau maghrib juga. Mandi sana”
“Iya-iya deuh ah.
Rese.” Liwa pun mengikuti saran Okta untuk madi dulu. Ada benarnya juga karena
badannya sudah bau asem.
“Pake kamar mandi
yang dibawah ya kak.”
“Iyaaaaa!”
Liwa pun bergegas
untuk mandi.
~[Choose One]~
“Jemputnya kaya biasa
ya, Kak!”
“Iya-iya, Kakak ke
berangkat ke kampus ya.” Ucap Liwa sambil mengelus rambut Okta.
“Ati-ati kak.”
“Sip.”
Liwa pun segera
memacu motornya menjauh dari sekolah Okta. Okta memandang Liwa yang semakin
menjauh itu. Seorang yang dahulu bagaikan kakak, yang sudah 3 hari ini tinggal
bersama dan selalu mengantar jemputnya sekolah.
“Hoy!” Seorang siswi
berhasil mengagetkan Okta
“Ih mpen. Bikin kaget
aja kamu tuh!” Kata Okta kepada temannya Feni.
“Hehe. Eh tadi siapa
Ta? Aku sering liat dia anter jemput kamu.”
“Siapa aja. Dasar
kepo. Wleeee.”
“Diiih. Pacar kamu
ya?”
“Gak tau juga sih. Ke
kelas ah ayo.” Okta pun berjalan ke kelas disusul Feni.
Dari arah parkiran, 5
orang siswa yang sedang nongkrong disitu memperhatikan Okta dan Feni yang
berjalan ke arah gedung sekolah.
“Lu yakin mau
sekarang?” Tanya salah satu siswa dikerumunan itu.
“Iyalah, semua udah
gue siapin mateng-mateng.” Kata siswa yang lain sambil tersenyum
Sementara itu, Liwa
sudah ada di kampusnya, sedang mengobrol dengan Ryan. Tak lama Desy datang dan
duduk di kursinya. Menata beberapa alat tulis lalu kembali berdiri dan
menghampiri Liwa dan Ryan.
“Beb, sarapan belum?”
Tanya Desy pada Liwa
“Udah gw. Apaan sih
lu manggil bab beb bab beb. Jijik jijik.”
“Elaaaaah gak so
sweet lu sama pacar.” Komentar Ryan
“Bodo! Lu emang
manggil-manggil Ve apa, Yan?”
“Biasanya sih Sayang,
atau Dear.”
“Kirain mamah-papah”
ledek Liwa sambil tertawa
“Atau gak abi-umi”
tambah Desy yang ikutan ngakak bersama Liwa.
“Lu kira gw anak
jaman now.” Kata Ryan berang.
“Gw mau sarapan,
temenin ke kantin yuk.” Pinta Desy
“Mager ah. Sendiri
aja lu sana!”
“Tega bener lu sama
pacar sendiri, Wa.” Ucap Ryan.
“Tau nih sih embe,
emang jahat dia.” Kata Desy sambil pergi menuju kantin.
“Embe embe. Dasar
tiang listrik.” Liwa tak mau kalah.
“EMBEEEEE!!!” Teriak
Desy dari mulut pintu.
“Cih, dasar.”
Ryan senyum saja
melihat keakraban dua sahabatnya itu.
“Jadi lu masih yakin
Desy selingkuh?” Tanya Ryan
“Gw juga bingung sih.
Tapi kalo gw pikir, Desy kan tajir, kalo emang dia selingkuh karena duit kaya
di sinetron-sinetron kan gak mungkin. Terus alesan dia selingkuh apa gitu?
apalagi dia keliatannya sayang banget sama gw. Waktu gw masih deket sama Viny
aja dia bilang no problem asal gw bahagia. Terus gw pernah liat dia kaya nangis
bahagia itu waktu jalan ma gw.”
“Nah makanya, Gw sih
yakin ini cuma salah paham. Desy gak mungkin tega kalau cuma main-main sama lu.
Tanyain aja langsung napa?”
“Gak ah.”
“Cih, Bego. Lu mah
bikin dibikin pusing sendiri. Tapi ya terserah lu sih.”
“Tapi kalo Desy emang
bener gak selingkuh berarti gw yang jahat ya udah selingkuhin dia.”
“Ya iyalah bego! Lu
selingkuh sama calon tunangan orang lagi.”
“Sekali doang kok.”
“Beneran tapi lu!
Jangan lagi-lagi. kalo ketauan kan bisa berabe tuh.”
“Gw juga ngerti
kali,Yan. Itung-itung bayar kencan gak jadi aja kemaren.”
Liwa menceritakan
kejadian 3 hari lalu kepada Ryan, dimana ia melihat Desy yang diduga selingkuh
hingga akhirnya ia juga selingkuh dengan Viny. Namun bagian di bianglala tak ia
ceritakan.
~[Choose One]~
Bel tanda istirahat
baru saja berbunyi. Seluruh siswa di kelas XII IIS-2 pun berhambur keluar.
Begitu juga dengan Okta dan Feni.
“Nanti aku pinjem
buku kamu ya,Ta. Ketinggalan tadi nulisnya.”
Okta mengangguk,
mengiyakan permintaan Feni.
“Ke kantin yuk, Ta.”
“Ayo.” Okta pun
berjalan bersama Feni
Saat tiba di lorong
yang tampak sepi Okta dan Feni diikuti oleh tiga orang siswa. Siswa itu
mengeluarkan sebuah kain. Lalu berjalan mengendap-endap menghampiri Okta dari
belakang. Setelah dekat siswa itu menyekap mulut Okta dengan kain yang
dibawanya. Okta kaget dan hendak melawan, namun ia tak berdaya. ia mencoba
berteriak namun suaranya tertahan oleh kain yang menyekap mulutnya. sekilas
Okta melihat yang menyekapnya. Dia adalah
teman sekelas Okta . Siswa yang lain menutup kepala Okta sehingga Okta
tak bisa melihat. Yang ada hanya kegelapan.
Jantung Okta berdegup
kencang. Tubuhnya digotong oleh 3 orang ke suatu tempat. Walau kepalanya
ditutup kain, Okta bisa mendengar suara pintu yang dibuka, lalu ia didudukkan
di suatu kursi tubuhnya masih ditahan oleh 2 orang, sementara orang yang
satunya melepaskan kain yang mengikat mulut Okta.
“SIAPA LU! MAU APA
LU! LEPASIN GUE!” teriak Okta.
Kain yang menutup
kepala Okta pun dibuka. Mata Okta mengerjap, pandangannya masih kabur. Perlahan
ia mengenali tempat dimana ia sekarang yaitu di aula olahraga sekolah.
Pandangan Okta mulai jelas. Ia bisa melihat bangku penonton dipenuhi
siswa-siswi, beberapa temannya pun terlihat dikerumunan tersebut. Seluruh siswa
yang ada dibangku penonton memegang balon terbang berbagai warna.
Seorang siswa
berjalan membawa gitar menghampiri Okta. Para penonton mulai bersiul dan
bertepuk tangan. Siswa itu berdiri di hadapan Okta.
“Vian? Ini ada apa
sebenernya?” tanya Okta pada Vian, teman sekelas Okta
“Emmm sebelumnya, gue
minta maaf mungkin tadi gak sopan maksa lu kesini.”
“Ini sebenernya ada
apa, Vian?”
Namun bukannya
menjawab, Vian malah mulai memetik gitarnya dan melantunkan sebuah lagu.
“Kutuliskan kenangan tentang
caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah
memberikan hatiku padamu”
Vian bernyanyi sambil
menatap lamat-lamat mata Okta, membuat Okta salah tingkah
“Takkan habis sebuah lagu untuk
menceritakan cantikmu
Dan teramat panjang puisi untuk
menyuratkan cinta ini”
Balon-balon
berwarna-warni dilepaskan oleh para siswa yang mengelilingi aula, berterbangan
membuat pemandangan yang indah. Okta pun terkagum melihat semua itu.
“Telah habis sudah cinta ini, tak
lagi tersisa untuk dunia
Karna tlah kuhabiskan sisa
hidupku hanya untukmu”
Vian masih memandang
Okta dan bernyanyi penuh perasaan untuknya.
“Walau musim berganti
Sampai waktu terhenti
Walau dunia membenci
Ku kan tetap disini.”
Vian menaruh gitarnya
dibawah kemudian berjalan mendekati Okta dan menggenggam kedua tangannya.
Seluruh siswa yang
ada di aula pun serempak menyanyikan kembali bagian reff dari lagu tersebut.
“Telah habis sudah cinta ini, tak
lagi tersisa untuk dunia
Karna tlah kuhabiskan sisa
hidupku hanya untukmu”
“Okta, dari semenjak
kita pertama kali kita bertemu,dari hari pertama kita MOS, sebenernya aku udah
punya suatu perasaan sama kamu. Kita saling kenalan, kita satu kelompok, kita
sekelas, semua hari yang aku lewatin disini jadi berharga dengan kehadiran
kamu.” Unkap Vian ditengah alunan lagu yang dinyanyukan oleh siswa siswi yang
ada disana.
“Telah habis sudah cinta ini, tak
lagi tersisa untuk dunia
Karna tlah kuhabiskan sisa
hidupku hanya untukmu”
“Aku terlalu pengecut buat nyatain perasaanku
ke kamu. Aku gak mau kedekatan kita jadi rusak. Tapi,sekarang kamu harus tau…”
Vian berhenti, menunggu lagu selesai dinyanyikan
“Aku cinta kamu,
Okta” Vian bersimpuh didepan Okta sambil memegang kedua tangannya.
Air mata haru yang
terbendung di mata Okta pecah dan membasahi pipi Okta. Sambil menatap Vian ia
berkata dengan nada gemetar
“M-maaf Vian, aku
terlalu bodoh, aku gak nyangka akan kaya gini jadinya. Kamu temen baik aku,
semua tau itu. Dan aku cuma bisa sebatas itu” Okta melepas tangannya dari
genggaman Vian. Vian berdiri, menatap pilu Okta
“O-Okta?”
“Maaf.” Okta pun
berlari keluar dari aula tersebut, membiarkan Vian dengan perasaan kacaunya berdiri
mematung disana.
~[Choose One]~
“Liwa, jalan yuk!”
Ajak Desy pada pacarnya ketika kelasnya baru saja dibubarkan
“Ayok deh. Mau kemana
emang?” Tanya Liwa.
“Gampang itu sih.
Berangkat aja dulu.”
“Yaudah. Eh Yan, gue
sama Desy duluan ya.” Ucap Liwa pamit pada Ryan
“Mo pacaran lu berdua
yak?”
“Yaiya dong.” Jawab
Liwa yang kemudian pergi bersama Desy.
Ryan mengeluarkan
HPnya dan melakukan panggilan kepada Ve.
“Dimana?”
“Aku udah diparkiran nih sama
Viny sama Eric. Cepetan!” Suara Ve dibalik telepon
“Iya sabar, ini juga
mau kesana. Dah”
“Oke. Dah”
~[Choose One]~
Liwa dan Desy
berjalan mengitari mall. Mall ini menjadi destinasi mereka, sebenarnya bukan
mereka, melainkan keputusan Desy secara sepihak karena mau Liwa membawa
belanjaanya kelak.
“Bilang aja mau
jadiin gw kuli panggul”
“Ya kan kali-kali
beb.”
“Dasar”
Desy dan Liwa duduk
di bangku mall sambil memakan ice cream.
“Nanti kita nonton
deh. Aku yang bayar.”
“Oh itu sih jelas
harus.”
“Dih. Gak maluan
banget jadi cowok. Harusnya sih cowoknya yang nraktir cewek.”
“Pengecualian kalau
ceweknya kaya lu,Des.”
“Jih, Dasar! Nih…”
Desy mengarahkan sendok ice creamnya ke arah Liwa. Liwa pun melahapnya.
“Lagi dong!” Pinta
Liwa.
Desy nurut saja dan
kembali menyuapi Liwa.
“Lagi lagi!” Pinta
Liwa kembali
“Yeh. Gantian dong!
Licik lu!”
“Yaudah deh sini”
Liwa mengarahkan sesendok ice cream ke mulut Desy.
Saat Desy hendak
melahap ice cream tersebut, Liwa malah mengoleskan ice cream itu ke pipi Desy
yang sontak membuat Desy geram.
“Jih. Si
kampreeeeeet!” Desy berusaha menjambak rambut Liwa, sedangkan Liwa menahannya
sambil tertawa.
“Duh ya, so sweet
banget ya ni orang pacaran.” Ucap seorang yang menghampiri Desy dan Liwa.
Desy dan Liwa kaget
melihat Ryan di hadapannya, dibelakangnya, ada Ve,Viny juga Eric.
“Kok kalian bisa ada
disini?” Tanya Desy.
“Emangnya gak boleh?”
“Ya bukan gitu juga.”
“Wah wah, ternyata oh
ternyata kalian ini. Pas gw tanya ngakunya enggak pacaran.” Ucap Viny
“Hehe” Liwa hanya
nyengir kuda.
“Oh gitu. gak diaku
pacar nih gue?” Ujar Desy menatap sinis Liwa.
“Emang lu pacar gue?”
Ucapan Liwa tersebut
dibalas oleh cubitan pada perut Liwa oleh Desy.
“Dari kapan?” Kini Ve
yang bertanya.
“Udah dua mingguan
kurang lebih. Hehe.”
“Yaudah yuk, bareng
aja sama kita, iya kan?” Tanya Ve pada Viny dan Eric yang kemudian mengangguk
menyetujui.
“Ketemu lagi ya,
Liwa.” Eric berjabat tangan dengan Liwa.
“Yo. Apa kabar? Wah
yang bentar lagi tunangan. Selamat ya.”
“Ehehe. Masih lama,
masih 3 mnguu lagi. Keduluan sama temennya Viny ini”
“Temenya Viny?” Tanya
Liwa dan Desy yang heran.
“Ya itu Ve sama
Ryan.” Kata Viny sambl menunuk Ve
“Wah, wah. Yang bener
lu Yan,Ve?!” Tanya Desy.
“I-iya. Hehe.” Ucap
Ve malu-malu.
“Kapan kalian
tunangannya?”
“3 hari lagi.”
“Wah ngebet lu, Yan?”
Tanya Liwa
“Yaiyadong, daripada
nanti keambil orang kan?”
“Yaudahlah
bagus-bagus, selamat deh buat kalian.”
“Nah berarti tinggal
kalian nih kapan?” tanya Viny pada Liwa dan Desy
“Tuh kapan?” Desy
menyikut lengan Liwa.
“Hehe. Nanti kalo
yang maha kuasa menghendaki. Hehe.” Kata Liwa sambl nyengir
“Ch dasar! Gua gak
mau diseriusin gtu?”
“Emang hidup lu serus
ya,Des? Kira gua becanda doang.” Liwa berkata meledek pada Desy.
“Enak aja lu!”
Dan seperti biasa,
mereka pun bertengkar.
“Udah pacaran juga
masih aja doyan ribut.” Ryan menggelengkan kepala melihat tingkah Liwa dan
Desy “Yuk ah jalan”
Dan akhirnya mereka
berenam pun berjalan mengitari mall. Dan yang pertama mereka datangi adalah
sebuah butik yang menawarkan berbagai model gaun yang sangat indah. Ve dan Ryan
tampak sangat bersemangat memilih baju yang akan Ve kenakan di acara tunagannya
yang tinggal beberapa hari lagi. Begitu pun Viny dan Eric, mereka juga
melihat-lihat gaun yang cocok untuknya. Sedangkan Liwa dan Desy berdiam diri.
“Gak mau liat-liat
apa, Des?” Liwa menyikut lengan Desy.
“Gak ah. Gak ada yang
cocok kayanya. Feminim semua.”
“Lah, lu kan cewe
Des. Apa selama ini lu ngerasa lu ini tiang listrik?”
“Yeh!” Desy menepak
kepala Liwa.
“Yuk ah nyari juga
kita. Gw yang pilihin deh.” Liwa menarik tangan Desy, memaksanya berkeliling
untuk melihat-lihat.
Desy tersenyum dan
mengikuti Liwa. Liwa denga seriusnya melihat gaun yang dipajang satu persatu
lalu mencocokkannya dengan Desy. beberapa lama kemudian Viny dan Ve telah
menemukan gaun pilihannya dan mencobanya.
Viny tampak anggun menggunakan
gaun selutut berwarna pink. Ve juga sangat mempesona dengan gaun biru mudanya.
Mereka berdua tampak senang menunjukkan gaun yang mereka kenakan pada pasangan
mereka. Ryan dan Eric pun tak henti-hentinya memuji kecantikan calon tunangan
mereka itu.
“Mereka cantik ya?
Anggun banget” ucap Desy
“Lu jangan mau kalah
dong!” balas Liwa
“Gue gak secantik dan
seanggun mereka,Wa.”
“Gua gak terima! Masa
pacar gua kalah dari mereka. Ini cobain lu pake gaun ini!” Liwa asal mengambil
salah satu gaun
“Eh ta-“
“Udah ah sana buruan
gak usah banyak cincong!” Desy mendorong Liwa keruang ganti.
Ve dan Viny terlihat
sedang mengobrol dengan salah satu
pelayan toko, menanyakan beberapa hal sampai akhirnya fokus mereka teralihkan
pada seseorang yang baru saja keluar dari ruang ganti.
“Gimana?” Tanya Desy
pada Liwa yang ada dihadapannya.
Liwa terdiam
memandangi Desy yang mengenakan gaun tanpa lengan berwarna putih yang tampak
elegan. Liwa memperhatikan Desy dari ujung rambut sampai ujung kaki dan tampak
sangat terpesona.
“Baru pertama kali
gua liat tiang listrik secantik ini.” Ucap Liwa sangat kagum
“Masih aja ya lu
bilang gua tiang listrik!!!” Desy berusaha menyerang Liwa.
“Des, kesan cantiknya
ntar ilang, Des!” Ucap Liwa sambil melindungi kepanya dari getokan maut Desy.
“Bodo!” Teriak Desy
“Desy” panggil Ve.
Desy pun reflek berthenti dan menengok “Wah, kamu pantes banget pake itu.
Cantik.”
Desy pun tersipu malu
oleh perkataan Ve.
“Yaiya dong pacar gue
gituloh.” Ujar Liwa berbangga sambil merangkul bahu Desy. namun Desy langsung
menyikut keras perut Liwa sampai ia tersungkur karena kesakitan.
“Makasih, Ve. Kamu juga
cantik banget. Diriku ini seakan sedang ada di khayangan melihat kamu yang
bagai bidadari ini.”
Semuanya pun tertawa
mendengar ucapan Desy.
“Eeeeeehhh. Bisa aja.”
Balas Ve.
“Tapi bener juga kata
Liwa sih, Des. Lu yang sehari-hari kaya titan bisa cantik gitu.” Kata Ryan.
“Ve. Bisa tolong..”
Ucapan Desy tak dilanjutkan Karena Ve sudah mengerti apa yang dimaksud Desy. Ve segera menyikut perut
Ryan sampai dia jatuh tersungkur.
“Aduduh… jahat banget
sih kamu, Ve.” Rintih Ryan
“Lagian kamunya.
Cewek gak suka tau digituin.” Ucap Ve cemberut pada Ryan.
“Senasib kita, Yan.
Haha” Ucap Liwa
Setelah itu, Ve dan
Viny memutuskan untuk membeli gaun yang mereka kenakan tadi. Sedangkan Desy
masih tampak ragu.
“Dibeli gak gaun
tadi?” Tanya Liwa
“Gak tau ah. Gak usah
kali ya, takutnya gak dipake.”
“Ya terserah sih.
Duit duit lu ini kan.”
Akhirnya mereka
keluar dari toko tersebut dan Desy benar-benar tidak jadi membeli gaun yang tadi
ia kenakan.
“Kesana yuk!” ajak
Viny menunjuk salah satu toko tas. Ve dan Desy mengangguk setuju, namun para
lelaki tidak ingin dijadikan sebagai kuli panggul. Maka mereka bertiga
meutuskan untuk menunggu di sebuah kafe sambil ngopi-ngopi santai.
“Gak nyangka gua sama
lu,Yan. Tiba-tiba udah mau tunangan aja lo. Mana gak cerita-cerita ke gue.”
Liwa membuka obrolan
“Ya tadinya gua mau
ngasih tau lu sehari sebelum tunangan gue, biar surprise gitu.”
“Ceritanya gimana tuh
lu bisa cepet tunangan?”
“Gua juga heran. Kan
malem minggu gitu gua mau ngajak Ve jalan besoknya, dia bilang gak bisa, ada
acara keluarga. Yaudah kan ya. eh malah gua disuruh kerumahnya dan disana udah
ada keluarga gua juga. Langsung disuruh tunangan aja gitu. tapi emnag
sebelum-sebelumnya juga kalau gua maen ke rumah Ve sering disinggung-singgung
suruh cepetan diseriusin sama orangtuanya Ve, gua kira bercanda doang. Eh
beneran.”
“Wah kalau gue.” Kata
Eric. “Gue waktu itu dibilang ada acara keluarga dan suruh jemput orang, Viny.
Tapi Viny kayanya Viny juga ada janji sama orang keliatan buru-buru gitu. tapi
mamanya maksa buat ikut gue. Di mobil dia diem aja, jutek abis malah. Eh pas
lagi makan gitu langsung dijodohin aja.”
“Terus lu nerima
begitu aja?” Tanya Ryan
“Ya gimana lagi, udah
dipilihin sama orangtua. Lagipula Viny emang menarik. Iya kan, Liwa?” Eric
tersenyum penuh arti pada Liwa
“Ya begitulah.”
“Bahkan saking
menariknya Viny, walau udah tahu bahwa Viny bentar lagi tunangan sama orang
lain dia masih berani ngajak dia jalan, walau dia sendiri udah punya cewek.”
Eric menyodorkan hp nya dimana di layarnya terdapat gambar Liwa dan Viny di
Dufan. “Iya kan, Liwa?”
Melihat itu sontak
membuat Liwa dan Ryan kaget. “Maaf, gua gak berniat gitu sebenernya.” Liwa
tampak merasa sangat bersalah atas perbuatannya itu. “Apa Viny tahu bahwa lu
tahu gua pernah selingkuh sama dia?”
Eric menggelengkan
kepala
“Gue minta maaf yang
sebesar-besarnya, Ric. Gue yang salah udah ngajak Viny jalan. kalau lu mau
nyalahin, salahin gue. Viny gak salah kok.”
“Desy tau lu
selingkuh?” tanya Eric
“Gak. Dan gue mohon
sama lu buat gak ngasih tau dia. Gue gak tega kalau Desy sampai tahu.”
“Gue gak akan ngasih
tau dia asal lu gak pernah macem-macem lagi sama Viny, jauhin Viny mulai dari
sekarang!” Ucap Eric mengancam.
“Ya. Dan emang seharusnya itu yang gue lakuin. Gue
harap lo bisa bahagiain Viny.”
“Pasti.”
“Udah udah udah.
Ganti bahasan. Obrolannya jadi tegang begini. Kan kita harusnya santai udah
selamat gak jadi kuli panggul para cewek.” Ryan coba mencairkan suasana.
Wajah Eric yang tadi nampak sangat serius berubah
seketika menjadi santai kemudian menyeruput kopi miliknya diikuti Liwa dan
Ryan.
“Gue denger ada
kafe yang baru buka di deket Mall ini.”
kata Eric
Mereka pun membahas
topik pembicaraan yang santai.
~[Choose One]~
“Wah bagus nih ini,
lucu.” Kata Ve sambil menunjukkan sebuah baju. “Cocok gak ya buat aku?”
“Bidadari mah pake
apa aja juga udah cocok, Ve.” Komentar Desy.
“Apaan sih Desy ini,
bidadari melulu nih.” Ve mencubit lengan Desy.
“Ya Tuhan! Nyong dicubit
bidadari Ya Tuhan. Terima kasih atas
anugrahmu pada nyong ini Ya Tuhan?” Ucap Desy konyol dengan nada medoknya
Viny dan Ve sontak
tertawa.
“Desy, Desy, konyol
banget kamu ini.” kata Viny.
“Maria Genoveva
Natalia Desy Purnamasari Gunawan gituloh.”
Mereka kembali
memilih-milih baju.
“Vin.” Panggil Desy.
Viny menoleh “Selamat ya, bentar lagi lu tunangan sama Eric. Semoga lu bahagia
ya.” Ucap Desy sambil tersenyum kecut
“I-iya, Des.
Makasih.” Viny heran
Desy menarik nafas
dalam, tampak hendak membicarakan sesuatu yang berat “Liwa juga mungkin pengen
bahagia, dan kebahagiaan dia, yaitu lu, udah gak bisa dia raih. Mungkin dia
harus nyari sumber kebahagiaan yang baru, dan baginya gak mudah. Disitulah gue
hadir buat dia, gue mencoba biar bisa jadi sumber kebahagiaannya. Jadi, demi
kebahagiaan Liwa, gue minta tolong sama lu, gue mohon untuk saat ini jauhin
Liwa dulu, ya? gue takutnya Liwa terus-terusan tersiksa dengan melihat
kebahagiannya yang semakin jauh. Biarin gue jadi kebahagiaan Liwa ngengantiin
lu ya, Vin?” Setelah mengatakan itu, mata Desy mulai berkaca-kaca.
Viny yang mendengar
itu pun dihantui oleh perasaan bersalah, ia merasakan pilu yang amat dalam,
dengan segera ia memeluk Desy dan menangis.
“Maafin gua, Des. Gua
akan ikutin perkataan lu kok. Tapi lo harus janji bisa bahagiain Liwa.”
“Maafin gue juga,
Vin. Seandainya Liwa bisa bahagia sama lu. Gue gak akan pernah nyuruh lu
ngejauh dari Liwa.”
Viny melepaskan
pelukannya dan menatap Desy.
“Gak apa-apa, Des. Mungkin
emang udah harusnya gini. Liwa harus dibahagiain sama orang yang bener-bener
sayang sama dia kaya lu.”
“Makasih.”
Melihat kedua
temannya itu, Ve tersenyum.
~[Choose One]~
Liwa,Ryan,Eric,Desy,Ve,
dan Viny kembali menyusuri mall bersama-sama, mereka tampak sangat bahagia
dengan pasangannya masing-masing. Liwa dan Viny sudah benar-benar memiliki
tekad untuk melupakan satu sama lain. Kehadiran Desy bagi Liwa dan Eric bagi
Viny sudah dianggap menjadi kebahagiaan yang baru yang hadir pada mereka.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 7 malam, Mereka masing-masing pulang dengan pasangannya.
Di mobil Ve dan Ryan,
Ve menceritakan percakapan Desy dan Viny di toko baju pada Ryan dengan sangat
antusias
“Hebat banget ya
Desy. kayanya sayang banget sama Liwa”
“Kira-kira kalau Desy
tiba-tiba selingkuh, kamu percaya gak, Yang?” Tanya Ryan pada Ve.
“Emmmmm enggak
mungkin kalau menurut aku sih. Kok kamu nanyanya gitu, Yang?”
“Gak tau juga. Iseng
aja. Hehe.”
Sementara itu mobil
Viny dan Eric yang masih terparkir di parkiran mall, mereka berdua bergandengan
tangan, Viny bersandar dibahu Eric dan Eric mengelus-elus rambut Viny.
“Maafin aku ya,
Sayang.” Ucap Viny
“Maaf untuk apa?”
“Untuk aku yang
ragu-ragu sama perasaan aku ke kamu. Sekarang aku udah yakin, Aku sayang kamu.”
Mereka berdua bertatapan
“Gak usah minta maaf,
pasti butuh proses buat lupain dia. Dan kalau emang kamu udah bisa yakin sama
perasaan kamu ke aku, aku bener-bener seneng. Aku juga sayang kamu.”
Dan mereka berdua pun
berpelukan dengan begitu mesranya.
~[Choose One]~
Hembusan angin malam
menerpa Liwa dan Desy diatas motor matic putih. Desy memeluk Liwa dari belakang
sambil menyandarkan kepala pada punggung Liwa yang sedang menyetir.
“Des.” Panggil Liwa
“Apaan?” Desy menoleh
“Lu beneran sayang
sama gue?”
Bukannya menjawab,
Desy malah menggeplak helm yang dikenakan Liwa.
“Dih, kok malah
digeplak sih pala gue?”
“Ya lu! Pertanyaan
kaya gitu aja ditanyain, dasar bego!”
“Ya selow dong. Cuman
nanya kan. Bener kan sayangnya cuma sama gue?”
“IYA LIWAAAAA! GUA
SAYANG BANGET SAMA LU!!! CUMA ELUUUU!!!” Teriak Desy di kuping Liwa yang
tertutup helm
“Duh. Pengang tau!”
Omel Liwa “Kalau seandainya lu ngeliat gw selingkuh sama cewek lain, apa lu
masih sayang sama gue?”
Pertanyaan tersebut
malah membuat Desy teringat kenangan pahit yang telah menyiksanya, Desy masih
sering menangis mengingat hal tersebut namun selalu menyembunyikannya dari
Liwa. Matanya kini mulai berkaca-kaca.
“Gak tau, gak mau
bayangin. Kalau lu sih gimana?”
“Kalau liat lu
selingkuh? Gua selingkuhin balik mungkin. Hehe.”
Jawaban Liwa tersebut
disambut oleh geplakan pada helm Liwa.
“Udah. Pokoknya gue
sayang lu.” Desy mengeratkan pelukannya
“Gue juga sayang sama
lu, Des. Tapi jangan kenceng-kenceng juga kali meluknya. Engap nih.”
Tak lama kemudian
Liwa dan Desy sampai di depan gerbang rumah Desy. Desy pun turun dari motor dan
menyerahkan helm pada Liwa. Dari tempatnya memberhentikan motor, Liwa bisa
melihat di halaman rumah Desy ada sebuah motor Ninja berwarna hitam yang
terparkir disana. Motor itu tidak asing bagi Liwa, motor yang pernah membonceng
Desy waktu itu.
“Itu motor punya
siapa,Des?” Tanya Liwa yang penasaran.
“Oh itu, motornya
Willy.”
“Willy? Siapa?”
“Willy, adek gue.”
“HAH?! LU PUNYA
ADE?!”
“Punya.”
“Kok gak pernah
bilang?”
“Lu gak pernah nanya.
Lagian kok kayanya kaget banget?”
“Gak apa-apa sih. Lu
punya saudara lagi?”
“Ada. Masih kecil
umur 6 tahunan. Willy juga baru datang beberapa hari yang lalu sih kesini, dia
kuliah di Jogja, udah lama gak ke Jakarta.”
“Kakak? Gak ada?”
“Enggak. Nanya apa lagi?
Kakek? Nenek? Ada di Cilacap.”
“Enggak sih. Yaudah
gue pamit dulu, ya.”
“Huh licik.” Dengus
Desy mengembungkan dua pipinya
“Licik apaan?”
“Daritadi di motor
gue meluk lu terus. Nah guenya kapan dipeluk lu?” Desy membuang mukanya
Liwa segera turun
dari motor dan memeluk Desy, Desy tersenyum kemudian membalas pelukan Liwa.
Beberapa saat mereka berpelukan lalu Desy melepaskan pelukan tersebut dan
member kode untuk menciumnya. Liwa memperhatikan keadaan sekitar, merasa aman,
ia kembali menatap Desy kemudian menutup mata dan mendekatkan jarak wajah
mereka berdua. Desy menundukkan kepalanya sedikit sehingga yang dicium oleh
Liwa bukanlah bibirnya, melainkan keningnya. Liwa kembali memeluk Desy.
beberapa saat kemudian Liwa melepaskan pelukannya.
“Yaudah gue pulang
dulu ya, makasih buat hari ini.”
“Iya sama-sama.”
Liwa pun kembali
menaiki motornya dan memakai helm.
“Ngomong-ngomong
pulangnya masih ke rumah Okta atau udah di warnet lagi.”
Deg! Perkataan Desy
mengingatkan Liwa pada sesuatu, Okta! Okta yang harusnya tadi sore dia jemput.
Liwa pun langsung panic.
“Ya ampun,
Oktaaaaaaa! Des, gue harus buru-buru. Dadah!” Liwa segera memacu motornya
dengan kecepatan tinggi.
“Dah.” Desy
melambaikan tangan sambil tersennyum
.
~[Choose One]~
Liwa memarkirkan
motornya di halaman rumah Okta. Dengan segera ia berlari dan mengetuk pintu
rumah tersebut. Bi Ijah, pembantu rumah tersebut membukakan pintu.
“Bi, Okta udah pulang
belum?” Tanya Liwa dengan raut khawatir.
“Belum tuh, bukannya
Liwa yang jemput?”
“Enggak bi, tadi saya
lupa.”
Dengan panik Liwa
merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel miliknya. Ponselnya itu
memberitahu bahwa Okta belasan kali menelpon. Segera Liwa mencoba menghubungi
Okta. Nomor yang dituju sedang tidak aktif, hanya itu yang bisa Liwa dengar. Ia
mencoba menghubungi Okta sekali lagi, namun hasilnya sama saja.
“Gak bisa dihubungi,
bi.” Kata Liwa
“Terus gimana ini,
bibi takut nak Okta kenapa-napa.” Si bibi ikut panik.
“Yaudah, Liwa mau
cari Okta dulu ya, Bi.” Liwa segera berlari ke motornya.
“Ati-ati, Liwa!”
Teriak bibi melihat Liwa yang sudah memacu motornya.
Liwa menarik pedal
gas dengan kencang, rintik hujan di malam yang dingin ini tak ia hiraukan. Yang
menjadi tujuan pertamanya adalah sekolah Okta.
Sekolah yang sudah
terlihat gelap, pintu gerbang yang tertutup, begitulah pemandangan disana.
Sepi. Tak ada seorang pun. Melihat beberapa warung dan toko yang masih buka di
seberang, Liwa segera berlari kesana dan bertanya apakah ada yang tahu, namun
semuanya bilang tidak. Sekali lagi Liwa mencoba menelpon, namun tetap tak bisa
dihubungi.
Hujan mulai menderas,
namun Liwa tetap memacu motornya mencari Okta yang entah kemana.
“Okta, dimana kamu?”
lirih Liwa, cemas.
~Bersambung